BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Agenda reformasi yang dilaksanakan secara bertahap oleh
pemerintah sejak beberapa waktu lalu telah dan akan terus membuahkan banyak
perubahan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Perubahan tersebut
menyangkut berbagai bidang termasuk bidang pemerintahan. Pelaksanaan reformasi
di bidang pemerintahan yaitu dikeluarkannya Undang–Undang No 32 tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah dan Undang–Undang No 33 tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Dalam Undang–Undang 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah mengatur tentang sistem pemerintahan daerah dan otonomi daerah.
Kebijakan otonomi daerah melalui Undang–Undang tersebut memberikan otonomi yang
sangat luas kepada daerah kabupaten/kota untuk bertanggung jawab terhadap
urusan rumah tangganya sendiri.. Tuntutan otonomi diatas bisa memberikan
manfaat kepada daerah untuk dapat meningkatkan kualitas demokrasi, peningkatan
reformasi pelayanan publik, peningkatan percepatan pembangunan dan terciptanya
pemerintahan yang baik jika dilaksanakan secara sungguh–sungguh.
Tujuan diberikannya otonomi kepada daerah adalah agar
yang bersangkutan dapat berkembang sesuai dengan kemampuannya sendiri dan tidak
bergantung kepada pemerintah pusat. Dengan demikian kepada daerah yang
bersangkutan lebih dituntut kemampuannya untuk memperoleh sumber–sumber dana
untuk membiayai sendiri penyelenggaraan rumah tangganya sejalan dengan
kewenangan yang diberikan kepada daerah tersebut.
Maka untuk memungkinkan daerah mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat atas rumah tangganya sendiri di dalam
penyelenggaraan pemerintah di daerahnya, untuk itu perlu mewujudkan
pemerintahan yang bertanggung jawab serta mampu melaksanakan, memikul, dan
menunaikan kewajiban sebagaimana yang dituntut pemerintah untuk mendukung
tanggung jawabnya, pemerintah daerah memerlukan sumber-sumber dana. Di dalam Undang–undang
No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan
Daerah, menyebutkan sumber–sumber pendapatan daerah adalah :
1.
Pendapatan asli daerah yang selanjutnya disebut PAD, yaitu:
a.
Pajak Daerah;
b.
Retribusi Daerah;
c.
hasil pengelolaan kekayaan Daerah yang dipisahkan; dan
d.
lain-lain PAD yang sah.
2.
Dana perimbangan.
3.
Pendapatan daerah lainnya yang sah.
Hal ini menunjukkan bahwa salah satu sumber pendapatan
daerah adalah pajak daerah. Menurut Undang–Undang Nomor 34 tahun 2000 tentang
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah menyebutkan, Pajak Daerah adalah iuran wajib
pajak yang dilakukan oleh pribadi / badan kepada daerah tanpa imbalan langsung
yang seimbang yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang–undangan
yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah daerah
dan pembangunan daerah. Salah satu instansi daerah yang mengelola pajak daerah
adalah Dinas Pendapatan Daerah yang disingkat dengan Dispenda adalah unsur
pelaksana Pemerintah Daerah di bidang pendapatan daerah.
Suatu organisasi dapat berjalan dengan baik membutuhkan
pengawasan untuk seluruh aktivitas organisasi. Rusaknya sendi–sendi manajemen,
khususnya ketidaksesuaian rencana program dengan pelaksanaannya disebabkan
karena kurang efektifnya pengawasan pada organisasi tersebut. Untuk itu dalam
setiap organisasi dibutuhkan pengawasan dalam rangka mencegah kemungkinan–kemungkinan
penyimpangan dari rencana–rencana yang telah ditetapkan sebelumnya.
Pengawasan dapat diartikan sebagai aktivitas untuk
menemukan, mengoreksi penyimpangan–penyimpangan penting dalam hasil yang
dicapai dari aktivitas yang direncanakan. Maka wajar apabila ditemukan
kekeliruan – kekeliruan tertentu serta kegagalan–kegagalan maka dalam hal ini
fungsi pengawasan sangat diperlukan. Dengan adanya pengawasan yang baik maka
akan dapat dipastikan tercapainya tujuan organisasi dengan efektif dan efisien.
Pengawasan pada hakekatnya merupakan fungsi yang melekat
pada seorang leader atau top
manajemen dalam setiap organisasi, sejalan dengan fungsi-fungsi dasar manajemen
lainnya yaitu perencanaan dan pelaksanaan. Demikian halnya dalam organisasi
pemerintah, fungsi pengawasan merupakan tugas dan tanggung jawab seorang kepala
pemerintahan, seperti di lingkup pemerintah provinsi merupakan tugas dan
tanggung jawab gubernur sedangkan di pemerintah kabupaten dan kota merupakan
tugas dan tanggung jawab bupati dan walikota. Namun karena katerbatasan
kemampuan seseorang, mengikuti prinsip-prinsip organisasi, maka tugas dan
tanggung jawab pimpinan tersebut diserahkan kepada pembantunya. Orang-orang
yang akan ditempatkan pada lembaga-lembaga pengawasan perlu dipersiapkan secara
matang melalui pola pembinaan terpadu dan berkesinambungan.
Maksud pengawasan dalam rumusan yang sederhana adalah
untuk memahami dan menemukan apa yang salah demi perbaikan di masa mendatang.
Hal itu sebetulnya sudah disadari oleh semua pihak baik yang mengawasi maupun
pihak yang diawasi termasuk masyarakat awam. Sedangkan tujuan pengawasan itu
adalah untuk meningkatkan pendayagunaan aparatur negara dalam melaksanakan
tugas-tugas umum pemerintahan dan pembangunan menuju terwujudnya pemerintahan
yang baik dan bersih (good and clean
government).
Sesuai dengan kebijakan otonomi daerah dan pemerintah
daerah, maka pemerintah mengeluarkan Undang–undang tentang Pemerintahan Daerah
yang tertuang dalam Undang–Undang No. 32 tahun 2004 Bab XII pasal 218 tentang
Pembinaan dan Pengawasan :
(1).
Pengawasan
atas penyelenggaraan pemerintahan daerah dilaksanakan oleh Pemerintah yang
meliputi:
a. Pengawasan atas pelaksanaan-urusan pemerintahan di
daerah;
b. Pengawasan terhadap peraturan daerah dan peraturan kepala
daerah.
(2).
Pengawasan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
a dilaksanakan oleh aparat pengawas intern Pemerintah sesuai petaturan
perundang-undangan.
Berbicara tentang pengawasan sebenarnya bukanlah tanggung
jawab institusi pengawas semata melainkan tanggung jawab semua aparatur
pemerintah dan masyarakat pada semua elemen. Karena sebetulnya institusi
pengawas seperti Inspektorat Daerah, bukannya berdiam diri, tidak berbuat,
tidak inovatif, adem dan sebagainya. Tetapi jauh dari anggapan itu, insan-insan
pengawas di daerah telah bertindak sejalan dengan apa yang dipikirkan
masyarakat itu sendiri. Langkah pro aktif menuju pengawasan yang efektif dan
efisien dalam memenuhi tuntutan itu telah dilakukan seperti melakukan
reorganisasi, perbaikan sistem, membuatan pedoman dan sebagainya, namun
kondisinya sedang berproses dan hasilnya belum signifikan dan terwujud seperti
yang diinginkan oleh masyarakat tersebut.
Dalam Peraturan
Pemerintah No. 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat
Daerah pada Pasal 1 Ayat (12) menyebutkan unsur pengawas daerah adalah Badan
Pengawas Daerah yang selanjutnya disebut Inspektorat Provinsi, Inspektorat Kabupaten
dan Inspektorat Kota. Inspektorat Kabupaten/Kota merupakan unsur pengawas
penyelenggaraan pemerintahan daerah, yang dipimpin oleh seorang Inspektur yang
berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada bupati dan secara teknis
administratif mendapat pembinaan dari sekretaris daerah.
Adapun
tugas pokoknya adalah melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan urusan
pemerintahan, pelaksanaan pembinaan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah
kabupaten/kota. Inspektorat Daerah sebagai Aparat Pengawas Internal Pemerintah
Daerah memiliki peran dan posisi yang sangat strategis baik ditinjau dari aspek
fungsi manajemen maupun dari segi pencapaian visi dan misi serta program
pemerintah.
Dari segi
fungsi-fungsi dasar manajemen, ia mempunyai kedudukan yang setara dengan fungsi
perencanaan atau fungsi pelaksanaan. Sedangkan dari segi pencapaian visi, misi
dan program-program pemerintah, Inspektorat daerah menjadi pilar yang bertugas
sebagai pengawas sekaligus pengawal dalam pelaksanaan program yang tertuang
dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
Menurut
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Antasari Azhar
“jika
lembaga pengawas internal lemah, pencegahan korupsi tidak efektif. Untuk itu
pengawas internal pemerintah harus efektif dalam mencegah tindak pidana
korupsi, karena simpul dalam manajemen pemerintah itu adalah aparat pengawasan”[1].
Sebagai
pengawas internal, Inspektorat Daerah yang bekerja dalam organisasi pemerintah
daerah tugas pokoknya dalam arti yang lain adalah menentukan apakah kebijakan
dan prosedur yang ditetapkan oleh manajemen puncak (Kepala Daerah) telah
dipatuhi dan berjalan sesuai dengan rencana, menentukan baik atau tidaknya
pemeliharaan terhadap kekayaan daerah, menentukan efisiensi dan efektivitas
prosedur dan kegiatan pemerintah daerah, serta yang tidak kalah pentingnya
adalah menentukan keandalan informasi yang dihasilkan oleh berbagai Unit/Satuan
Kerja sebagai bagian yang integral dalam organisasi Pemerintah Daerah.
Dalam suatu
situs (sumbarprov.go.id) dikatakan bahwa Inspektorat Daerah sebagai pengawas
internal memiliki karakteristik yang spesifik, dan ia memiliki ciri antara lain
adalah :
1. Alat dalam organisasi Pemerintah Daerah yang menjalankan
fungsi quality assurance.
2. Pengguna laporan pengawas internal adalah top manajemen
(Kepala Daerah) dalam organisasi Pemerintah Daerah yang bersangkutan.
3. Dalam pelaksanaan tugas seperti halnya pengawas eksternal
dapat menggunakan prosedur pemeriksaan bahkan harus memiliki prosedur yang
jelas.
4. Kegiatan pemeriksaan bersifat pre-audit atau build-in
sepanjang proses kegiatan berlangsung.
5. Fungsi pemeriksaan yang dilakukan lebih banyak bersifat
pembinaan dan dalam praktiknya memberikan saran dan pertimbangan kepada Kepala
Daerah, ia tidak berwenang untuk menghakimi apalagi menindak[2].
Berdasarkan
argumen di atas sangatlah jelas dan nyata bahwa Inspektorat Daerah sebagai
pengawas internal memiliki peran yang sangat strategis, sebagai katalisator dan
dinamisator dalam menyukseskan pembangunan daerah.
B.
Rumusan Masalah
Dari uraian diatas, kemudian yang menjadi
rumusan masalah dalam penulisan ini adalah
1.
Bagaimana eksistensi Pelayanan publik dalam kaitannya dengan pengawasan Internal
dalam pemerintah?
2.
Bagaimana pula pengendalian intern oleh aparat pengawasan internal dalam
penyelenggaraan pelayanan publik?
C. Tujuan Penulian
Adapun tujuan dari penulisan ini adalah
1.
Untuk mengetahui dan menganalisis Bagaimana eksistensi Pelayanan publik
dalam kaitannya dengan pengawasan Internal dalam pemerintah
2.
Untuk mengetahui dan menganalisis Bagaimana pula pengendalian intern
oleh aparat pengawasan internal dalam penyelenggaraan pelayanan publik.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sudut Pandang Baru Terhadap Eksistensi
Pelayanan Publik Dalam Kaitannya Dengan Pengawasan Internal Dalam Pemerintahan
Perkembangan
jaman telah telah merubah kebutuhan, aktivitas, dan tuntutan masyarakat yang
pada gilirannya menggeser paradigma peran pemerintah. Osborne dan Gaebler
(1998) dalam bukunya Reinventing Government menyebutkan perlunya perubahan
peran dan fungsi pemerintah dengan jalan mentransformasikan euntrepreunal
spirit ke dalam birokrasi. Spirit yang dimaksud adalah kemampuan menggunakan
sumber daya dengan cara baru guna memaksimalkan produktivitas dan efektivitas.
Berkaitan dengan itu, Suryani Sidik dalam makalahnya “Strategi Pengelolaan
Sektor Publik (2002)” menyitir pendapat Manion (1983) menyatakan bahwa,
perkembangan jaman membuat peran pemerintah telah berubah[3].
a)
Salah
satu elit akomodasi
menjadi salah satu angkutan umum yang partisipasi dan pembagian kekuasaan;
b)
Salah
satu komandan menjadi salah menginformasikan,
membujuk dan memimpin;
c)
Salah
satu oing hal
untuk orang-orang menjadi salah satu membuat orang untuk melakukan
untuk diri mereka sendiri;
d)
Salah
satu regulasi menjadi salah satu standar valuantary dan regulasi
diri.
Pergeseran paradigma ini menuntut perubahan
peran pemerintah dari
a)
Pengatur
menjadi pelayan;
b)
Pendekatan
kekuasaan menjadi pendekatan fleksibel; dan
c)
Kebiasaan
melakukan cara-cara sloganitis menjadi cara-cara yang realisitis dan pragmatis[4].
Tuntutan
Pelayanan Publik Di Era Reformasi Dari
hasil penelitian Ulbert Silalahi (Utomo, 2003) atas pelayanan publik sebelum
reformasi diperoleh data bahwa tingkat kepuasan layanan aparatur negara yang
diberikan kepada masyarakat menunjukkan prosentase rata-rata 33.7 % yang
dikategorikan rendah. Wujud atau bentuk pelayanan publik tersebut yang
merupakan sains of service dari sikap
pelayanan aparatur negara dapat berbagai bentuk dan wujud antara lain apatis,
menolak berurusan, bersikap dingin, memandang rendah, bekerja mekanis, ketat
pada prosedur dan sering mem-ping-pong masyarakat[5].
Sejalan dengan
hasil penelitian diatas, pada tahun 2002 hasil penelitian dari Agus Dwiyanto
dalam bukunya “Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia” bahwa kinerja pelayanan
birokrasi pemerintah pada masa reformasi walaupun telah berjalan lebih kurang 4
(empat) tahun tidak banyak mengalami perubahan secara signifikan. Para aparatur
negara atau birokrat atau birokrasi pemerintahan masih tetap menunjukkan
derajat rendah pada akuntabilitas, responsivitas, efisiensi dalam
penyelenggaraan pelayanan publik. Bahkan secara empirik di era reformasi ini Perubahan
paradigma pemerintah ini berdampak pada tuntutan dan kompetensi pemerintah
khususnya birokrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik.
Selanjutnya
perubahan paradigma pemerintah dapat terjadi dikarenakan enam faktor, yaitu (a)
perubahan besaran dari yang harus dilakukan oleh bidang administrasi Negara;
(b) Perubahan diakibatkan oleh proses demokratisasi yang terjadi sehingga
pemerintah tidak lagi dirasakan sebagai yang lebih tinggi kedudukannya dalam
masyarakat “change in the mutual
positions of administration and citizens”, (c) pengelolaan pelayanan publik
yang dipisahkan dari administrasi Negara menjadi bentuk lainnya; (d) penerapan
standar criteria kinerja pelayanan publik yang sama dengan dipergunakan sector
swasta; (e) peningkatan produktivitas sektor publik harus dapat diukur dan
sekaligus sebagai ukuran kepuasan masyarakat terhadap pelayanan publik; dan (f)
perubahan yang terjadi juga dikarenakan adanya perubahan budaya didalam sector
publik itu sendiri yang menempatkan pelanggan yang harus dilayani
sebaik-baiknya.
Dengan
demikian pemerintah menjadi focus of
interest dalam perubahan paradigma penyelenggaraan pelayanan publik. Siap
tidak siap ini merupakan konsekuensi dari adanya perubahan lingkungan global
menuju reformasi birokrasi. Model Reformasi birokrasi menjadi jawaban atas
perubahan paradigma pemerintahan, diantara adalah perbaikan kualitas pengawasan
oleh Bawasda. Kondisi ini merupakan tantangan sekaligus peluang agar terjadi
perubahan paradigma Inspektorat sebagai bagian dari reformasi birokrasi menuju
era pelayanan publik.
B.
Pengendalian Intern Oleh Aparat Pengawasan
Internal Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik
Pengendalian
intern adalah proses yang dapat dipengaruhi manajemen dimana pegawai dalam
menyediakan secara layak sesuatu kepastian mengenai prestasi yang diperoleh
secara objektif dalam penerapannya tentang bagian laporan keuangan yang dapat
dipercaya, diterapkannya efisiensi dan efektivitas dalam kegiatan operasional
organisasi dan diterapkannya peraturan dan hukum yang berlaku agar ditaati oleh
semua pihak. Definisi tersebut menunjukan bahwa tujuan pengendalian intern
adalah: 1. Terciptanya keandalan laporan keuangan; 2. Meningkatkan efisiensi
dan efektifitas operasi organisasi; 3. Mendorong dipatuhi undang-undang dan peraturan-peraturan
yang berlaku.
Martin
Painter menyebutkan dimensi pembangunan kapasitas pemerintahan, diantaranya
kapasitas adminsitrasi dengan indikator keberhasilannya adalah dari kualitas
pengawasan (resource control), yang dalam kesempatannya ini pengawasan oleh
Inspektorat (Bawasda). Bawasda inilah yang secara fungsional memberikan
penilaian atas keberhasilan penyelenggaraan sektor publik oleh Pemerintah
berdasarkan hasil evaluasi dan pengawasan yang telah dilakukan. Peran Bawasda
dalam hal ini akan menjadi sangat strategis apabila diikuti dengan kemauan
untuk menjadi bagian dari fungsi pelayanan.
Permasalahan
yang selama ini terjadi dalam penyelenggaraan pelayanan publik adalah
Inspektorat sebagai institusi pengawas fungsonal belum menjadi bagian dari upaya
peningkatan kualitas pelayanan publik. Selama ini pelaksanaan pengawasan
fungsional oleh Inspektorat lebih terkonsentrasi kepada audit operasional atau
ketaatan terhadap 3 E (ekonomis, efisiensi, dan efektivitas), sedangkan
pemeriksaan yang secara khusus mengaudit aspek pelayanan kurang tersentuh.
Kondisi ini yang harus segera disadari oleh Inspektorat, bahwa tugas utama
Pemerintah adalah bagaimana dapat memberikan pelayanan kepada publik dengan
baik. Untuk menentukan keberhasilan pelayanan publik tersebut perlu menentukan
terlebih dahulu indikator-indikatornya.
Kumorotomo
dalam Agus Dwiyanto (2002:50) menggunakan kriteria kinerja pelayanan publik,
yaitu: (a) efisiensi, menyangkut pertimbangan tentang keberhasilan orhanisasi
publik mendapat laba, memanfaatkan faktor-faktor produksi serta pertimbangan
dari rasionalitas ekonomi; (b) efektivitas, berkaitan dengan efektivitas
pencapaian tujuan organisasi pelayanan publik; (c) keadilan, berkaitan dengan
distribusi dan alokasi layanan oleh organisasi pelayanan publik; (d) daya
tanggap, adalah kemampuan untuk merespon kebutuhan masyarakat. Sedangkan Agus
Dwiyanto (2002;51) mempergunakan parameter untuk melihat kinerja pelayanan
publik dari dua pendekatan, yaitu :
(a) pendekatan pertama untuk melihat kinerja pelayanan publik
dari perspektif pemberi layanan, dan
(b) pendekatan kedua melihat kinerja dari perspektif pengguna
jasa[6].
Kedua
pendekatan ini harus dilihat dari sudut pandang yang saling berinteraksi
(interconnection) dan saling mempengaruhi(interdependensi).
Pemerintah
sendiri melalui Menteri PAN mengeluakan kebijakan untuk melihat kinerja
pelayanan publik melalui Keputusan Menteri PAN Nomor:63/KEP/M.PAN/7/2003
tanggal 10 Juli 2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaran Pelayanan Publik ,
dengan 10 (sepuluh) prinsip pelayanan publik, yaitu: Kesederhanaan, Kejelasan,
Kepastian Waktu, Akurasi, Keamanan, Tanggung jawab, Kelengkapan sarana dan
prasarana, Kemudahan Akses, Kedisiplinan, Kesopanan, dan keramahan, serta
Kenyamanan.
Inspektorat
belum dilibatkan dalam mengukur tingkat Indeks Kepuasan Masyarakat (IKM).
Filosofinya adalah dalam melihat pelayanan publik perlu dilihat dari 2 (dua)
sisi yaitu sisi internal (penyelenggara) dan sisi eksternal (masyarakat sebagai
customer) sehingga dalam menilai pelayanan yang dilakukan oleh unit pelaksana
dapat lebih seimbang dan akurat Oleh karena itu Badan Pengawas perlu melakukan
survey IKM untuk mengetahui dan mengukur tingkat kepuasan apakah unit pelayanan
sudah memadai dalam melaksanakan pelayanannya kepada publik sebagaimana
diamanatkan dalam Keputusan Menteri PAN Nomor:25/KEP/M.PAN/2/2004 tanggal 24
Pebruari 2004 tentang Pedoman Umum Penyusunan Indeks Kepuasan Masyarakat Unit
Pelayanan Instansi Pemerintah, telah memberikan amanat kepada Aparat Pengawasan
untuk mengukur kinerja pelayanan publik dengan IKM[7].
BAB III
KESIMPULAN
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa:
1.
Pemerintah menjadi focus of
interest dalam perubahan paradigma penyelenggaraan pelayanan publik. Siap
tidak siap ini merupakan konsekuensi dari adanya perubahan lingkungan global
menuju reformasi birokrasi.
2. Tugas utama Pemerintah adalah bagaimana
memberikan pelayanan kepada publik dengan baik. Untuk menentukan keberhasilan
pelayanan publik tersebut perlu menentukan terlebih dahulu indikator-indikator
keberhasilannya. Pengendalian intern adalah proses yang dapat dipengaruhi
manajemen dimana pegawai dalam menyediakan secara layak sesuatu kepastian
mengenai prestasi yang diperoleh secara objektif dalam penerapannya tentang
bagian laporan keuangan yang dapat dipercaya, diterapkannya efisiensi dan
efektivitas dalam kegiatan operasional organisasi dan diterapkannya peraturan
dan hukum yang berlaku agar ditaati oleh semua pihak, akan tetapi dalam
penyelenggaraan pelayanan publik Inspektorat sebagai institusi pengawas
fungsonal belum menjadi bagian utuh dari upaya peningkatan kualitas pelayanan
publik.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Mas’ud Said, M. 2007. “Birokrasi di Negara Birokratris”. UMM
Pres. Malang.
Sedarmayanti, 2009. “Reformasi
Administrasi Publik Reformassi Brokrasi Dan Kepemimpinan Masa Depan”. PT
Refika Aditama Bandung
Internet
Alwi Hashim Batubara. 2006. “Pelayanan Publik Sebagai Pintu Masuk Dalam Mewujudkan Good Governance”. Jurnal Analisis Administrasi
dan Kebijakan. Vol.3 No. 2 Diakses melalui http:
//repository. usu.ac.id /handle /123456789/17995.
Dhoni widianto. 2009. “Pengawasan
Pelayanan Publik tantangan bagi eksistensi inspektorat” diakses
melalui http://dhoniwidianto.com/2009/03/pengawasan-pelayanan-publik-tantangan.html.
Faisal Tamin 2004. “Reformasi
Birokrasi analisis pendayagunaan aparatur Negara”. Blantika. Jakarta.
Hutabalian,
Vanny Pasmaulina. 2010. “Peranan Badan
Pengawas Daerah/Inspektorat Daerah Dalam Pelaksanaan Fungsi Pengawasan
Pengelolaan Pajak Daerah Kabupaten Samosir”. Skripsi. Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.
Medan.
PerUndang-Undangan
Republik Indonesia,
Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah.
Republik Indonesia,
Undang-undang No. 33
Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Republik Indonesia,
Peraturan Pemerintah
No. 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah.
[3] Dhoni widianto.
Pengawasan Pelayanan Publik tantangan
bagi eksistensi inspektorat diakses
melalui http://dhoniwidianto.com/2009/03/pengawasan-pelayanan-publik-tantangan.html. 2009.
[5] Alwi Hashim Batubara “Pelayanan Publik Sebagai Pintu
Masuk Dalam Mewujudkan Good Governance”. Jurnal Analisis
Administrasi dan Kebijakan. Vol. 3 No. 2
Mei-Agustus 2006.
Diakses melalui http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/17995 hal. 2