Senin, 13 Desember 2010

Ironis Anak Bangsa Putus Sekolah


Program wajib belajar adalah suatu program yang dikeluarkan pemerintah guna mengatasi kesulitan para anak bangsa di negeri tercinta ini untuk sekolah, program ini di tambah lagi dengan bantuan dana BOS bagi siswa dan sekolah guna menunjang kegiatan operasional belajar mengajar.
Akan tetapi ironis, masih banyak anak-anak bangsa yang putus sekolah lantaran kurangnya biaya pendidikan. Sebagai mana yang terjadi di salah satu kabupaten di provinsi jambi dimana angka putus sekolah disalah satu UPPK mencapai angka tertinggi di antara UPPK lain dikabupaten tersebut dan lebih ironis lagi UPPK bersangkutan berada di ibukota kabupaten dengan jarak tempuh berkisar 5-15 menit dan 30 menit dari pusat Provinsi.

Dari hasil pantauan ternyata sekolah yang memiliki angka putus tertinggi adalah salah satu desa di wilayah UPPK yang berada diseberang sungai, dengan alat trasportasi hanya menggunakan “Kapal Pompong”. Untuk menuju desa ini membutuhkan waktu berkisar 10-15 menit, alangkah teririsnya hati saya ketika mendengar alasan para siswa yang tidak melanjutkan hanya terkendala sekolahan jauh dan biaya kurang. Saya coba bertanya juga kepada orang tua siswa yang notabenenya mencari nafkah buat sang anak dan keluarganya, ternyata sang orang tua rata-rata berpendapatan tidak tetap(serabutan) dan sebagian lagi bertani. Yang menurut hemat saya pendapatan ini sebenarnya masih bisa membiayai para anak untuk sekolah. Apa yang terjadi??

Ada satu cerita menarik dari para warga didesa yang menginginkan ada satu sekolah lanjutan didesa mereka sebagai sarana untuk belajar dan menghemat biaya. Dimana dahulu pernah ada pihak dari pemerintah dan diknas pusat yang datang meninjau lokasi desa, dan memberikan harapan kepada warga bahwa didesa mereka akan segera didirikan SMP satu atap, mendengar hal tersebut para warga menjadi bersemangat dan bergotongroyong membeli sebidang tanah yang direncanakan nantinya sebagai tempat dibangunnya sekolah yang dimaksud, namun apa yang terjadi?? Kembali mereka dikecewakan dengan tidak ada realisasinya harapan itu. Dan sampai saat tulisan ini dibuat pembangunan tidak juga terealisasi “namun apa daya hendak protes hanya buang waktu saja” itu pendapat salah seorang warga.

Bagi orang tua dan siswa yang terlanjur percaya pada saat kelulusan anaknya dari bangku Sekolah Dasar tidak mencari solusi dan alternatif ketika tempat melanjutkan itu tidak jadi dibangun dan alhasil mereka terpaksa menganggur, padahal dari info yang saya dapatkan ternyata 75% anak yang tidak melanjutkan adalah anak-anak yang peringkatnya di sekolah adalah juara kelas. Tapi apa daya....

Hal diatas seharusnya menjadi masukan bagi pemerintah ketika memberikan harapan kepada warga, yang imbasnya adalah para anak bangsa yang seharusnya nanti bisa menggantikan mereka memimpin negeri tercinta. Dan sekarang ketika pemerintah mencoba masuk ke desa tersebut para warga tidak lagi percaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Data blankspot