Jumat, 10 Mei 2013

Pengawasan Internal dalam Pemerintahan

BAB I
PENDAHULUAN

A.        Latar Belakang
Agenda reformasi yang dilaksanakan secara bertahap oleh pemerintah sejak beberapa waktu lalu telah dan akan terus membuahkan banyak perubahan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Perubahan tersebut menyangkut berbagai bidang termasuk bidang pemerintahan. Pelaksanaan reformasi di bidang pemerintahan yaitu dikeluarkannya Undang–Undang No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang–Undang No 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Dalam Undang–Undang 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah mengatur tentang sistem pemerintahan daerah dan otonomi daerah. Kebijakan otonomi daerah melalui Undang–Undang tersebut memberikan otonomi yang sangat luas kepada daerah kabupaten/kota untuk bertanggung jawab terhadap urusan rumah tangganya sendiri.. Tuntutan otonomi diatas bisa memberikan manfaat kepada daerah untuk dapat meningkatkan kualitas demokrasi, peningkatan reformasi pelayanan publik, peningkatan percepatan pembangunan dan terciptanya pemerintahan yang baik jika dilaksanakan secara sungguh–sungguh.
Tujuan diberikannya otonomi kepada daerah adalah agar yang bersangkutan dapat berkembang sesuai dengan kemampuannya sendiri dan tidak bergantung kepada pemerintah pusat. Dengan demikian kepada daerah yang bersangkutan lebih dituntut kemampuannya untuk memperoleh sumber–sumber dana untuk membiayai sendiri penyelenggaraan rumah tangganya sejalan dengan kewenangan yang diberikan kepada daerah tersebut.
Maka untuk memungkinkan daerah mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat atas rumah tangganya sendiri di dalam penyelenggaraan pemerintah di daerahnya, untuk itu perlu mewujudkan pemerintahan yang bertanggung jawab serta mampu melaksanakan, memikul, dan menunaikan kewajiban sebagaimana yang dituntut pemerintah untuk mendukung tanggung jawabnya, pemerintah daerah memerlukan sumber-sumber dana. Di dalam Undang–undang No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah, menyebutkan sumber–sumber pendapatan daerah adalah :
1.        Pendapatan asli daerah yang selanjutnya disebut PAD, yaitu:
a.        Pajak Daerah;
b.        Retribusi Daerah;
c.         hasil pengelolaan kekayaan Daerah yang dipisahkan; dan
d.        lain-lain PAD yang sah.
2.        Dana perimbangan.
3.        Pendapatan daerah lainnya yang sah.

Hal ini menunjukkan bahwa salah satu sumber pendapatan daerah adalah pajak daerah. Menurut Undang–Undang Nomor 34 tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah menyebutkan, Pajak Daerah adalah iuran wajib pajak yang dilakukan oleh pribadi / badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang–undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah daerah dan pembangunan daerah. Salah satu instansi daerah yang mengelola pajak daerah adalah Dinas Pendapatan Daerah yang disingkat dengan Dispenda adalah unsur pelaksana Pemerintah Daerah di bidang pendapatan daerah.
Suatu organisasi dapat berjalan dengan baik membutuhkan pengawasan untuk seluruh aktivitas organisasi. Rusaknya sendi–sendi manajemen, khususnya ketidaksesuaian rencana program dengan pelaksanaannya disebabkan karena kurang efektifnya pengawasan pada organisasi tersebut. Untuk itu dalam setiap organisasi dibutuhkan pengawasan dalam rangka mencegah kemungkinan–kemungkinan penyimpangan dari rencana–rencana yang telah ditetapkan sebelumnya.
Pengawasan dapat diartikan sebagai aktivitas untuk menemukan, mengoreksi penyimpangan–penyimpangan penting dalam hasil yang dicapai dari aktivitas yang direncanakan. Maka wajar apabila ditemukan kekeliruan – kekeliruan tertentu serta kegagalan–kegagalan maka dalam hal ini fungsi pengawasan sangat diperlukan. Dengan adanya pengawasan yang baik maka akan dapat dipastikan tercapainya tujuan organisasi dengan efektif dan efisien.
Pengawasan pada hakekatnya merupakan fungsi yang melekat pada seorang leader atau top manajemen dalam setiap organisasi, sejalan dengan fungsi-fungsi dasar manajemen lainnya yaitu perencanaan dan pelaksanaan. Demikian halnya dalam organisasi pemerintah, fungsi pengawasan merupakan tugas dan tanggung jawab seorang kepala pemerintahan, seperti di lingkup pemerintah provinsi merupakan tugas dan tanggung jawab gubernur sedangkan di pemerintah kabupaten dan kota merupakan tugas dan tanggung jawab bupati dan walikota. Namun karena katerbatasan kemampuan seseorang, mengikuti prinsip-prinsip organisasi, maka tugas dan tanggung jawab pimpinan tersebut diserahkan kepada pembantunya. Orang-orang yang akan ditempatkan pada lembaga-lembaga pengawasan perlu dipersiapkan secara matang melalui pola pembinaan terpadu dan berkesinambungan.
Maksud pengawasan dalam rumusan yang sederhana adalah untuk memahami dan menemukan apa yang salah demi perbaikan di masa mendatang. Hal itu sebetulnya sudah disadari oleh semua pihak baik yang mengawasi maupun pihak yang diawasi termasuk masyarakat awam. Sedangkan tujuan pengawasan itu adalah untuk meningkatkan pendayagunaan aparatur negara dalam melaksanakan tugas-tugas umum pemerintahan dan pembangunan menuju terwujudnya pemerintahan yang baik dan bersih (good and clean government).
Sesuai dengan kebijakan otonomi daerah dan pemerintah daerah, maka pemerintah mengeluarkan Undang–undang tentang Pemerintahan Daerah yang tertuang dalam Undang–Undang No. 32 tahun 2004 Bab XII pasal 218 tentang Pembinaan dan Pengawasan :
(1). Pengawasan atas  penyelenggaraan   pemerintahan   daerah dilaksanakan oleh Pemerintah yang meliputi:
a.      Pengawasan atas pelaksanaan-urusan pemerintahan di daerah;
b.      Pengawasan terhadap peraturan daerah dan peraturan kepala daerah.
(2). Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat  (1)  huruf  a dilaksanakan oleh aparat pengawas intern Pemerintah sesuai petaturan perundang-undangan.


Berbicara tentang pengawasan sebenarnya bukanlah tanggung jawab institusi pengawas semata melainkan tanggung jawab semua aparatur pemerintah dan masyarakat pada semua elemen. Karena sebetulnya institusi pengawas seperti Inspektorat Daerah, bukannya berdiam diri, tidak berbuat, tidak inovatif, adem dan sebagainya. Tetapi jauh dari anggapan itu, insan-insan pengawas di daerah telah bertindak sejalan dengan apa yang dipikirkan masyarakat itu sendiri. Langkah pro aktif menuju pengawasan yang efektif dan efisien dalam memenuhi tuntutan itu telah dilakukan seperti melakukan reorganisasi, perbaikan sistem, membuatan pedoman dan sebagainya, namun kondisinya sedang berproses dan hasilnya belum signifikan dan terwujud seperti yang diinginkan oleh masyarakat tersebut.
Dalam Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah pada Pasal 1 Ayat (12) menyebutkan unsur pengawas daerah adalah Badan Pengawas Daerah yang selanjutnya disebut Inspektorat Provinsi, Inspektorat Kabupaten dan Inspektorat Kota. Inspektorat Kabupaten/Kota merupakan unsur pengawas penyelenggaraan pemerintahan daerah, yang dipimpin oleh seorang Inspektur yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada bupati dan secara teknis administratif mendapat pembinaan dari sekretaris daerah.
Adapun tugas pokoknya adalah melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan urusan pemerintahan, pelaksanaan pembinaan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten/kota. Inspektorat Daerah sebagai Aparat Pengawas Internal Pemerintah Daerah memiliki peran dan posisi yang sangat strategis baik ditinjau dari aspek fungsi manajemen maupun dari segi pencapaian visi dan misi serta program pemerintah.
Dari segi fungsi-fungsi dasar manajemen, ia mempunyai kedudukan yang setara dengan fungsi perencanaan atau fungsi pelaksanaan. Sedangkan dari segi pencapaian visi, misi dan program-program pemerintah, Inspektorat daerah menjadi pilar yang bertugas sebagai pengawas sekaligus pengawal dalam pelaksanaan program yang tertuang dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
Menurut Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Antasari Azhar
“jika lembaga pengawas internal lemah, pencegahan korupsi tidak efektif. Untuk itu pengawas internal pemerintah harus efektif dalam mencegah tindak pidana korupsi, karena simpul dalam manajemen pemerintah itu adalah aparat pengawasan”[1].

Sebagai pengawas internal, Inspektorat Daerah yang bekerja dalam organisasi pemerintah daerah tugas pokoknya dalam arti yang lain adalah menentukan apakah kebijakan dan prosedur yang ditetapkan oleh manajemen puncak (Kepala Daerah) telah dipatuhi dan berjalan sesuai dengan rencana, menentukan baik atau tidaknya pemeliharaan terhadap kekayaan daerah, menentukan efisiensi dan efektivitas prosedur dan kegiatan pemerintah daerah, serta yang tidak kalah pentingnya adalah menentukan keandalan informasi yang dihasilkan oleh berbagai Unit/Satuan Kerja sebagai bagian yang integral dalam organisasi Pemerintah Daerah.
Dalam suatu situs (sumbarprov.go.id) dikatakan bahwa Inspektorat Daerah sebagai pengawas internal memiliki karakteristik yang spesifik, dan ia memiliki ciri antara lain adalah :
1.    Alat dalam organisasi Pemerintah Daerah yang menjalankan fungsi quality assurance.
2.    Pengguna laporan pengawas internal adalah top manajemen (Kepala Daerah) dalam organisasi Pemerintah Daerah yang bersangkutan.
3.    Dalam pelaksanaan tugas seperti halnya pengawas eksternal dapat menggunakan prosedur pemeriksaan bahkan harus memiliki prosedur yang jelas.
4.    Kegiatan pemeriksaan bersifat pre-audit atau build-in sepanjang proses kegiatan berlangsung.
5.    Fungsi pemeriksaan yang dilakukan lebih banyak bersifat pembinaan dan dalam praktiknya memberikan saran dan pertimbangan kepada Kepala Daerah, ia tidak berwenang untuk menghakimi apalagi menindak[2].

Berdasarkan argumen di atas sangatlah jelas dan nyata bahwa Inspektorat Daerah sebagai pengawas internal memiliki peran yang sangat strategis, sebagai katalisator dan dinamisator dalam menyukseskan pembangunan daerah.

B.        Rumusan Masalah
Dari uraian diatas, kemudian yang menjadi rumusan masalah dalam penulisan ini adalah
1.    Bagaimana eksistensi Pelayanan publik dalam kaitannya dengan pengawasan Internal dalam pemerintah?
2.    Bagaimana pula pengendalian intern oleh aparat pengawasan internal dalam penyelenggaraan pelayanan publik?




C.   Tujuan Penulian
Adapun tujuan dari penulisan ini adalah
1.    Untuk mengetahui dan menganalisis Bagaimana eksistensi Pelayanan publik dalam kaitannya dengan pengawasan Internal dalam pemerintah
2.    Untuk mengetahui dan menganalisis Bagaimana pula pengendalian intern oleh aparat pengawasan internal dalam penyelenggaraan pelayanan publik.














BAB II
PEMBAHASAN

A.        Sudut Pandang Baru Terhadap Eksistensi Pelayanan Publik Dalam Kaitannya Dengan Pengawasan Internal Dalam Pemerintahan
Perkembangan jaman telah telah merubah kebutuhan, aktivitas, dan tuntutan masyarakat yang pada gilirannya menggeser paradigma peran pemerintah. Osborne dan Gaebler (1998) dalam bukunya Reinventing Government menyebutkan perlunya perubahan peran dan fungsi pemerintah dengan jalan mentransformasikan euntrepreunal spirit ke dalam birokrasi. Spirit yang dimaksud adalah kemampuan menggunakan sumber daya dengan cara baru guna memaksimalkan produktivitas dan efektivitas. Berkaitan dengan itu, Suryani Sidik dalam makalahnya “Strategi Pengelolaan Sektor Publik (2002)” menyitir pendapat Manion (1983) menyatakan bahwa, perkembangan jaman membuat peran pemerintah telah berubah[3].
        a)          Salah satu elit akomodasi menjadi salah satu angkutan umum yang partisipasi dan pembagian kekuasaan;
        b)          Salah satu komandan menjadi salah menginformasikan, membujuk dan memimpin;
         c)          Salah satu oing hal untuk orang-orang menjadi salah satu membuat orang untuk melakukan untuk diri mereka sendiri;
        d)          Salah satu regulasi menjadi salah satu standar valuantary dan regulasi diri.
Pergeseran paradigma ini menuntut perubahan peran pemerintah dari
    a)        Pengatur menjadi pelayan;
   b)        Pendekatan kekuasaan menjadi pendekatan fleksibel; dan
    c)        Kebiasaan melakukan cara-cara sloganitis menjadi cara-cara yang realisitis dan pragmatis[4].

Tuntutan Pelayanan Publik Di Era Reformasi  Dari hasil penelitian Ulbert Silalahi (Utomo, 2003) atas pelayanan publik sebelum reformasi diperoleh data bahwa tingkat kepuasan layanan aparatur negara yang diberikan kepada masyarakat menunjukkan prosentase rata-rata 33.7 % yang dikategorikan rendah. Wujud atau bentuk pelayanan publik tersebut yang merupakan sains of service dari sikap pelayanan aparatur negara dapat berbagai bentuk dan wujud antara lain apatis, menolak berurusan, bersikap dingin, memandang rendah, bekerja mekanis, ketat pada prosedur dan sering mem-ping-pong masyarakat[5].
Sejalan dengan hasil penelitian diatas, pada tahun 2002 hasil penelitian dari Agus Dwiyanto dalam bukunya “Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia” bahwa kinerja pelayanan birokrasi pemerintah pada masa reformasi walaupun telah berjalan lebih kurang 4 (empat) tahun tidak banyak mengalami perubahan secara signifikan. Para aparatur negara atau birokrat atau birokrasi pemerintahan masih tetap menunjukkan derajat rendah pada akuntabilitas, responsivitas, efisiensi dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Bahkan secara empirik di era reformasi ini Perubahan paradigma pemerintah ini berdampak pada tuntutan dan kompetensi pemerintah khususnya birokrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik.
Selanjutnya perubahan paradigma pemerintah dapat terjadi dikarenakan enam faktor, yaitu (a) perubahan besaran dari yang harus dilakukan oleh bidang administrasi Negara; (b) Perubahan diakibatkan oleh proses demokratisasi yang terjadi sehingga pemerintah tidak lagi dirasakan sebagai yang lebih tinggi kedudukannya dalam masyarakat “change in the mutual positions of administration and citizens”, (c) pengelolaan pelayanan publik yang dipisahkan dari administrasi Negara menjadi bentuk lainnya; (d) penerapan standar criteria kinerja pelayanan publik yang sama dengan dipergunakan sector swasta; (e) peningkatan produktivitas sektor publik harus dapat diukur dan sekaligus sebagai ukuran kepuasan masyarakat terhadap pelayanan publik; dan (f) perubahan yang terjadi juga dikarenakan adanya perubahan budaya didalam sector publik itu sendiri yang menempatkan pelanggan yang harus dilayani sebaik-baiknya.
Dengan demikian pemerintah menjadi focus of interest dalam perubahan paradigma penyelenggaraan pelayanan publik. Siap tidak siap ini merupakan konsekuensi dari adanya perubahan lingkungan global menuju reformasi birokrasi. Model Reformasi birokrasi menjadi jawaban atas perubahan paradigma pemerintahan, diantara adalah perbaikan kualitas pengawasan oleh Bawasda. Kondisi ini merupakan tantangan sekaligus peluang agar terjadi perubahan paradigma Inspektorat sebagai bagian dari reformasi birokrasi menuju era pelayanan publik.

B.        Pengendalian Intern Oleh Aparat Pengawasan Internal Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik

Pengendalian intern adalah proses yang dapat dipengaruhi manajemen dimana pegawai dalam menyediakan secara layak sesuatu kepastian mengenai prestasi yang diperoleh secara objektif dalam penerapannya tentang bagian laporan keuangan yang dapat dipercaya, diterapkannya efisiensi dan efektivitas dalam kegiatan operasional organisasi dan diterapkannya peraturan dan hukum yang berlaku agar ditaati oleh semua pihak. Definisi tersebut menunjukan bahwa tujuan pengendalian intern adalah: 1. Terciptanya keandalan laporan keuangan; 2. Meningkatkan efisiensi dan efektifitas operasi organisasi; 3. Mendorong dipatuhi undang-undang dan peraturan-peraturan yang berlaku.
Martin Painter menyebutkan dimensi pembangunan kapasitas pemerintahan, diantaranya kapasitas adminsitrasi dengan indikator keberhasilannya adalah dari kualitas pengawasan (resource control), yang dalam kesempatannya ini pengawasan oleh Inspektorat (Bawasda). Bawasda inilah yang secara fungsional memberikan penilaian atas keberhasilan penyelenggaraan sektor publik oleh Pemerintah berdasarkan hasil evaluasi dan pengawasan yang telah dilakukan. Peran Bawasda dalam hal ini akan menjadi sangat strategis apabila diikuti dengan kemauan untuk menjadi bagian dari fungsi pelayanan.
Permasalahan yang selama ini terjadi dalam penyelenggaraan pelayanan publik adalah Inspektorat sebagai institusi pengawas fungsonal belum menjadi bagian dari upaya peningkatan kualitas pelayanan publik. Selama ini pelaksanaan pengawasan fungsional oleh Inspektorat lebih terkonsentrasi kepada audit operasional atau ketaatan terhadap 3 E (ekonomis, efisiensi, dan efektivitas), sedangkan pemeriksaan yang secara khusus mengaudit aspek pelayanan kurang tersentuh. Kondisi ini yang harus segera disadari oleh Inspektorat, bahwa tugas utama Pemerintah adalah bagaimana dapat memberikan pelayanan kepada publik dengan baik. Untuk menentukan keberhasilan pelayanan publik tersebut perlu menentukan terlebih dahulu indikator-indikatornya.
Kumorotomo dalam Agus Dwiyanto (2002:50) menggunakan kriteria kinerja pelayanan publik, yaitu: (a) efisiensi, menyangkut pertimbangan tentang keberhasilan orhanisasi publik mendapat laba, memanfaatkan faktor-faktor produksi serta pertimbangan dari rasionalitas ekonomi; (b) efektivitas, berkaitan dengan efektivitas pencapaian tujuan organisasi pelayanan publik; (c) keadilan, berkaitan dengan distribusi dan alokasi layanan oleh organisasi pelayanan publik; (d) daya tanggap, adalah kemampuan untuk merespon kebutuhan masyarakat. Sedangkan Agus Dwiyanto (2002;51) mempergunakan parameter untuk melihat kinerja pelayanan publik dari dua pendekatan, yaitu :
(a)   pendekatan pertama untuk melihat kinerja pelayanan publik dari perspektif pemberi layanan, dan
(b)   pendekatan kedua melihat kinerja dari perspektif pengguna jasa[6].

Kedua pendekatan ini harus dilihat dari sudut pandang yang saling berinteraksi (interconnection) dan saling mempengaruhi(interdependensi).
Pemerintah sendiri melalui Menteri PAN mengeluakan kebijakan untuk melihat kinerja pelayanan publik melalui Keputusan Menteri PAN Nomor:63/KEP/M.PAN/7/2003 tanggal 10 Juli 2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaran Pelayanan Publik , dengan 10 (sepuluh) prinsip pelayanan publik, yaitu: Kesederhanaan, Kejelasan, Kepastian Waktu, Akurasi, Keamanan, Tanggung jawab, Kelengkapan sarana dan prasarana, Kemudahan Akses, Kedisiplinan, Kesopanan, dan keramahan, serta Kenyamanan.
Inspektorat belum dilibatkan dalam mengukur tingkat Indeks Kepuasan Masyarakat (IKM). Filosofinya adalah dalam melihat pelayanan publik perlu dilihat dari 2 (dua) sisi yaitu sisi internal (penyelenggara) dan sisi eksternal (masyarakat sebagai customer) sehingga dalam menilai pelayanan yang dilakukan oleh unit pelaksana dapat lebih seimbang dan akurat Oleh karena itu Badan Pengawas perlu melakukan survey IKM untuk mengetahui dan mengukur tingkat kepuasan apakah unit pelayanan sudah memadai dalam melaksanakan pelayanannya kepada publik sebagaimana diamanatkan dalam Keputusan Menteri PAN Nomor:25/KEP/M.PAN/2/2004 tanggal 24 Pebruari 2004 tentang Pedoman Umum Penyusunan Indeks Kepuasan Masyarakat Unit Pelayanan Instansi Pemerintah, telah memberikan amanat kepada Aparat Pengawasan untuk mengukur kinerja pelayanan publik dengan IKM[7].














BAB III
KESIMPULAN
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa:
1.    Pemerintah menjadi focus of interest dalam perubahan paradigma penyelenggaraan pelayanan publik. Siap tidak siap ini merupakan konsekuensi dari adanya perubahan lingkungan global menuju reformasi birokrasi.
2.    Tugas utama Pemerintah adalah bagaimana memberikan pelayanan kepada publik dengan baik. Untuk menentukan keberhasilan pelayanan publik tersebut perlu menentukan terlebih dahulu indikator-indikator keberhasilannya. Pengendalian intern adalah proses yang dapat dipengaruhi manajemen dimana pegawai dalam menyediakan secara layak sesuatu kepastian mengenai prestasi yang diperoleh secara objektif dalam penerapannya tentang bagian laporan keuangan yang dapat dipercaya, diterapkannya efisiensi dan efektivitas dalam kegiatan operasional organisasi dan diterapkannya peraturan dan hukum yang berlaku agar ditaati oleh semua pihak, akan tetapi dalam penyelenggaraan pelayanan publik Inspektorat sebagai institusi pengawas fungsonal belum menjadi bagian utuh dari upaya peningkatan kualitas pelayanan publik.


DAFTAR PUSTAKA

Buku
Mas’ud Said, M. 2007. “Birokrasi di Negara Birokratris”. UMM Pres. Malang.
Sedarmayanti, 2009. “Reformasi Administrasi Publik Reformassi Brokrasi Dan Kepemimpinan Masa Depan”. PT Refika Aditama  Bandung

Internet
Alwi Hashim Batubara. 2006. “Pelayanan Publik Sebagai Pintu Masuk Dalam Mewujudkan Good  Governance”. Jurnal Analisis Administrasi dan Kebijakan. Vol.3 No. 2 Diakses melalui http: //repository. usu.ac.id /handle /123456789/17995.
Dhoni widianto. 2009. “Pengawasan Pelayanan Publik  tantangan bagi  eksistensi inspektorat” diakses melalui  http://dhoniwidianto.com/2009/03/pengawasan-pelayanan-publik-tantangan.html.
Faisal Tamin 2004. “Reformasi Birokrasi analisis pendayagunaan aparatur Negara”. Blantika. Jakarta.
Hutabalian, Vanny Pasmaulina. 2010. “Peranan Badan Pengawas Daerah/Inspektorat Daerah Dalam Pelaksanaan Fungsi Pengawasan Pengelolaan Pajak Daerah Kabupaten Samosir”. Skripsi. Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara. Medan.

PerUndang-Undangan
Republik Indonesia, Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Republik Indonesia, Undang-undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah.




[1] Baca Media Indonesia, 28 Maret 2008.
[2] Inspektorat Daerah sebagai pengawas internal diakses melalui http:/www.Sumbarprov.go.id/
[3] Dhoni widianto. Pengawasan Pelayanan Publik  tantangan bagi  eksistensi inspektorat diakses melalui  http://dhoniwidianto.com/2009/03/pengawasan-pelayanan-publik-tantangan.html. 2009.
[4] Ibid
[5] Alwi Hashim Batubara Pelayanan Publik Sebagai Pintu Masuk Dalam Mewujudkan Good  Governance”. Jurnal Analisis Administrasi dan Kebijakan. Vol. 3 No. 2 Mei-Agustus 2006. Diakses melalui http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/17995 hal. 2
[6] Dhoni Widianto.Op.cit.
[7] . Alwi Hashim Batubara. Op. Cit.

Rabu, 25 Juli 2012

PERANAN KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DAN PEMBENTUKAN PEJABAT PENGELOLA INFORMASI DAN DOKUMENTASI DALAM MENSUKSESKAN JAMBI EMAS 2015



 
THE DISCLOSURE OF PUBLIC INFORMATION ROLES AND OFFICIAL MANAGER OF INFORMATION AND DOCUMENTATION FORMATION TO SUCCESSING
JAMBI EMAS 2015

Joni Martin
Balitbangda Provinsi Jambi
Jl. RM. Nur Atmadibrata No 50 Telanaipura Jambi

Abstract
This study aims to look at the role of information in estabilishing of Jambi Emas 2015, the disclosure of information give the right and opportunity for people to supervise the development area program.. One of Vision and Mission the Jambi Emas requires the ability of good governance, transparency and accountability towards the realization of good governance. Disclosure of information begins with the establishment of the official manager of information and documentation as the determines and responsible on information to the public. This study uses a qualitative approach and descriptive analysis as well as primary data collection by observation and interviews and secondary data collection through the study of literature. The result obtained was the role of information disclosure greatly affect the course monitoring process of development, especially to the success of Jambi Emas 2015
Key word: Disclosure Of Public Information, Official Manager Of Information And Documentation Formation.

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk melihat peranan informasi dalam mensukseskan Jambi Emas 2015, keterbukaan informasi memberikan hak dan kesempatan bagi masyarakat untuk dapat mengawasi jalannya program pembangunan didaerah. Salah satu Visi Misi Jambi Emas menghendaki adanya pemerintahan yang baik, transparan dan akuntabel menuju perwujudan good governance. Keterbukaan informasi diawali dengan pembentukan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi sebagai pejabat yang menetukan dan bertanggung jawab terhadap informasi yang diberikan kepada publik. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan kualitatif dan analisis secara deskriptif serta pengumpulan data secara Primer melalui observasi dan wawancara serta pengumpulan data skunder melalui studi literatur. Hasil yang didapatkan ternyata peranan keterbukaan informasi sangat mempengaruhi jalannya proses pengawasan pembangunan terutama dalam mensukseskan Jambi Emas 2015.
Kata kunci: Keterbukaan Informasi Publik, pembentukan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi.



1.         PENDAHULUAN
1.1.    Latar Belakang
Pengawasan merupakan sebuah sarana yang efektif guna meningkatkan pelayanan pemerintahan menjadi lebih produktif. Pemerintah Provinsi Jambi melalui Visi Misinya Jambi Emas 2015 mencanangkan rencana strategi kebijakan pembangunan daerah untuk tahun 2010-2015 dan merupakan grand design strategi dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan. Grand design tersebut meliputi: (a) menciptakan keselarasan antara pertumbuhan dan pemerataan (growth with equity), (b) menyelenggarakan reformasi institusional, mekanisme dan kinerja pelayanan pemerintahan sebagai institusi publik berdasarkan prinsip good governance dan clean government, (c) melaksanakan upaya percepatan pembangunan yang diarahakan pada pengembangan aktifitas sektor riil dan sektor ekonomi unggulan dengan mengedapankan ilmu pengetahuan dan teknologi, (d) meningkatkan peran serta masyarakat secara aktif dan akomodatif serta kolaboratif sebagai mitra kerja pemerintahan, (e) mendorong pemerataan pembangunan maupun hasil-hasilnya melalui program samisake, (f) mendorong percepatan pembangunan insfratruktur, baik pembangunan jalan dan jembatan yang mampu memperpendek jarak dari daerah produksi kedaerah pusat-pusat distribusi.
Enam langkah strategi tersebut menjadi sia-sia bila dijalankan tanpa adanya pengawasan langsung maupun tidak langsung oleh masyarakat serta diperlukan sebuah kolaborasi nyata antara masyarakat dan organisasi pemerintah. Hal ini perlu dilakukan guna mengatasi kesenjangan antara tingkat kematangan perencanaan dan pelaksanaan kegiatan dengan tingkat keberhasilan yang dicapai.
Grand design yang paling menonjol dalam mensukseskan pelaksanaan visi misi Jambi Emas 2015 terutama dalam peningkatan peran serta masyarakat secara aktif dan akomodatif sebagai mitra kerja pemerintah. Peran ini tidaklah dapat dicapai dengan baik apabila dalam pelaksanaannya pemerintah tertutup dalam memberikan informasi terhadap perencanaan, pelaksanaan dan hasil evalusi berjalan kepada masyarakat. Akses yang sulit didapat masyarakat menjadi hambatan bagi masyarakat dalam membantu pemerintah mengawasi jalannya pelaksanaan sebuah program kegiatan.
Secara nyata, masyarakat harusnya bisa mengetahui sejauhmana pemerintah melaksanakan program-program pembangunannya, sehingga ada mekanisme kontrol dari masyarakat agar potensi peyimpangan pembangunan bisa dikendalikan sedini mungkin. Akan tetapi mekanisme kontrol masyarakat berupa keterbukaan informasi masih terkesan sulit didapatkan, kesenjangan antara pemerintah daerah, masyarakat, Lembaga swadaya masyarakat, serta Organisasi masyarakat masih jauh dari yang diharapkan. Hal ini banyak sekali faktor yang menyebabkannya, dari kalangan pemerintah mengatakan bahwa jika terlalu terbuka kepada publik maka bukan pengawasan control yang dilakukan publik akan tetapi malah hujatan dan sebagian ada yang malah melakukan tekanan bahkan pemerasan kepada Pelaksana kegiatan. Disinilah peran sebuah lembaga informasi yang dalam UU No. 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik disebut Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) berperan untuk menyaring informasi apa yang bisa diberikan dan tidak diberikan kepada masyarakat.
Berdasarkan latar belakang diatas, tulisan ini mencoba memberikan gambaran dan analisis terhadap peran keterbukaan informasi publik dan pembentukan PPID dalam mensukseskan Jambi emas tahun 2015 di Provinsi Jambi.

1.2.    Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
a.  Bagaimana Peran Keterbukaan Informasi Publik dan pembentukan PPID dalam mensukseskan Jambi Emas 2015.
b.  Bagaimana eksistensi Pemerintah Provinsi Jambi dalam memberikan informasi terkait program pembangunannya.

1.3.    Tujuan dan Manfaat Penelitian
Dari rumusan masalah diatas, selanjutnya yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah:
a.    Untuk mengetahui bagaimana peran keterbukaan informasi publik dalam mensukseskan Pelaksanaan Jambi Emas 2015.
b.    Untuk melihat dan menganalisis bagaimana eksistensi Pemerintah Provinsi Jambi dalam memberikan Informasi terkait program pembangunannya.
Dengan manfaat nantinya diharapkan bisa menjadi bahan masukan dan pertimbangan bagi pemerintah dalam mengambil kebijakan guna mewujudkan visi misi Jambi Emas 2015.


1.4.    Kerangka Konsep
Kepemerintahan yang baik atau lebih sering dikenal dengan good governance, merupakan salah satu istilah yang digunakan untuk menunjukan hasil prestasi dan kinerja pemerintah dalam melaksanakan pembangunan. Untuk itu banyak sekali konsep-konsep pengertian yang diberikan para ahli dalam mengartikan dan menempatkan good governance sebagai sarana perwujudan prestasi pemerintah tersebut. Salah satu contohnya menurut World bank yang mendefinisikan good governance yang dikutif oleh ikhwan[1] adalah suatu penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggung jawab yang sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran salah alokasi dana investasi dan pencegahan korupsi baik secara politik maupun administratif, menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan legal and political framework bagi tumbuhnya aktivitas usaha.
Pendapat ahli lain seperti Prof. Sofian Efendi[2] mengatakan Istilah “governance” sebenarnya sudah dikenal dalam literatur administrasi dan ilmu politik hampir 120 tahun, sejak Woodrow Wilson, yang kemudian menjadi Presiden Amerika Serikat ke 27, memperkenalkan bidang studi tersebut kira-kira 125 tahun yang lalu. Tetapi selama itu  governance hanya digunakan dalam literatur politik dengan pengetian yang sempit. Wacana tentang “governance” dalam pengertian yang diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia sebagai tata pemerintahan, penyelenggaraan pemerintahan  atau pengelolaan pemerintahan, atau tata pamong, baru muncul sekitar 15 tahun belakangan, terutama setelah berbagai lembaga pembiayaan internasional menetapkan “good governance” sebagai persyaratan utama untuk setiap program bantuan mereka. Oleh para teoritisi  dan praktisi administrasi negara Indonesia, istilah “good governance” telah diterjemahkan dalam berbagai istilah, misalnya, penyelenggaraan pemerintahan yang amanah (Bintoro Tjokroamidjojo), tata pemerintahan yang baik (UNDP), pengelolaan  pemerintahan yang baik dan bertanggunjawab (LAN), dan ada juga yang mengartikan secara sempit sebagai pemerintahan yang bersih (clean government).
Dalam tata kepemerintahan yang baik disamping adanya pemerintahan yang baik, dibutuhkan juga masyarakat yang memahami dan mengerti bagaimana seharusnya pengelolaan terhadap informasi yang diberikan. Prof. Mukhtar latif[3] dalam makalahnya memberikan konsep publik good sebagai masyarakat yang peduli dengan pemerintahan melalui kontrol terhadap penyelenggaraan pemerintahan dan kemasyarakatan agar berjalan tertib, lancar tanpa penyimpangan dan penyalahgunaan dalam pelaksanaannya. Lebih lanjut dikatakan juga bahwa karakter publik good adalah :
a.    Masyarakat yang saling menjaga image dan citra lembaga
b.    Masyarakat yang berpegang teguh pada regulasi
c.    Masyarakat yang menegakkan etika norma hidup masyarakat
d.    Masyarakat yang yang berpegang pada prinsip persatuan dan kesatuan serta
e.    Masyarakat yang yang mampu menjadi control bagi pemerintah.
Dari konsep diatas dapat telihat bahwa publik good atau masyarakat yang baik juga sangat berperan dalam pencapaian keberhasilan pembangunan, peran tersebut sangat dipengaruhi oleh improvisasi dan inisiasi dari masyarakat dalam menjaga informasi yang didapatkan, sehingga kepentingan dan kebutuhan terhadap informasi yang diberikan akan sejalan dengan apa yang dicita-citakan.

2.         METODE PENELITIAN
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan penelitian kualitatif, yang berusaha mengkaji dan menelaah permasalahan yang timbul dengan mencari penyebab dan solusinya secara sosiologis. Penelitian ini dilaksanakan di Provinsi Jambi pada tahun 2012. Pengumpulan data dilakukan secara primer dan skunder, secara primer dilakukan dengan melakukan wawancara dan observasi, kemudian pengumpulan data secara skunder dilakukan melalui studi literatur, yaitu melalui telaah terhadap teks, Undang-undang, Jurnal, keputusan-keputusan dan literatur-literatur yang berkaitan dengan masalah yang dibahas. Selanjutnya data dan informasi yang didapat dianalisis secara deskriptif.

3.         HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1.    Gambaran Umum
Di era globalisasi, informasi merupakan kebutuhan pokok bagi setiap orang untuk pengembangan pribadi dilingkungan sosialnya, kebutuhan pokok ini juga merupakan bagian penting dari ketahanan nasional yang bermuara pada pelaksanaan pembangunan. Keterbukaan informasi publik merupakan salah satu ciri penting bagi negara demokratis yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat untuk mewujudkan penyelenggaraan Negara yang baik.
Konstitusi Indonesia mensyaratkan bahwa, tata kelola pemerintahan yang demokratis, didalamnya harus mencakup pelayanan keterbukaan informasi bagi publik. Pemerintah membuat UU No. 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, mengingat bahwa pemerintahan merupakan salah satu badan publik yang memiliki fungsi untuk melaksanakan pembangunan yang demokratis. Pembangunan dilakukan bukan hanya berbentuk fisik tapi juga non fisik. Bentuk non fisik merupakan bentuk pembangunan yang sifatnya penambahan sumber daya manusia yang berani bertindak demokrasi dan mengedepankan aspek informasi dalam menjalankan aktiftasnya.
Keberanian bertindak secara demokrasi tersebut tidak akan ada artinya jika tidak dijamin oleh regulasi yang baik serta kuat. Secara internasional, Indonesia merupakan Negara kelima yang mempunyai regulasi terkait keterbukaan informasi publik dan menjadi salah satu Negara tertinggi dalam regulasi keterbukaan informasi publiknya. Akan tetapi permasalahan timbul, semenjak UU no. 14 tahun 2008 diterapkan, keinginan terhadap pelaksanaan keterbukaan informasi kepada publik masih belum masksimal. Dari data kementrian komunikasi dan informasi5, Hanya 19,81 persen lembaga pemerintah yang menunjuk PPID sebagai pemegang kendali atas keterbukaan informasi. PPID sendiri adalah pejabat yang bertanggung jawab di bidang penyimpanan, pendokumentasian, penyediaan, dan/atau pelayanan informasi di badan publik.Untuk lebih jelas perhatikan gambar berikut:
Gambar 1. Peningkatan pembentukan PPID di Kementrian/lembaga Negara dan Pemerintah daerah dari tahun 2010-2012[4].
 







Sumber data: Diolah dari Makalah Tulus Subardjono Refeleksi dan evaluasi pelaksanaan UU No. 14 tahun 2008 Tentang KIP.

Gambar 1 diatas menjelaskan bahwa, pembentukan PPID pada tahun 2010 ditingkat lembaga Negara setingkat menteri yang membentuk PPID menduduki posisi tertinggi, kemudian pada tahun  2011 dan 2012 peningkatan pembentukan PPID terbanyak dilaksanakan di tingkat Kabupaten. Dari data ini juga dapat ditarik kesimpulan bahwa setiap tahun pembentukan PPID di seluruh lembaga mengalami peningkatan yang signifikan. Seperti yang terjadi ditingkat Kabupaten pada tahun 2010 hanya 5 kabupaten yang membentuk PPID atau sekitar 1.25 persen dari jumlah Kabupaten se Indonesia, pada tahun 2011 bertambah menjadi 40 kabupaten atau naik sekitar 8.77 persen, kemudian pada tahun 2012 bertambah kembali menjadi 55 kabupaten atau naik menjadi 13.78 persen dari total sekitar 399 kabupaten se Indonesia.

3.2.    Peran Keterbukaan Informasi Publik dan Pembentukan PPID dalam mensukseskan Jambi Emas 2015
Jambi Emas 2015 merupakan icon andalan Provinsi Jambi dalam menjalankan roda pemerintahan menuju pelaksanaan good governance dan pembangunan yang mengikutsertakan semua lapisan masyarakat, baik LSM, Ormas, Tokoh-tokoh adat serta masyarakat secara perorangan. Hal ini tercantum dalam visi misi Jambi Emas yakni Mewujudkan kualitas kinerja birokrasi pemerintah secara profesional dalam memenuhi kepentingan umum. Untuk mewujudkan kualitas kinerja pemerintahan, tidak hanya dibutuhkan pengawasan dan pengendalian dari dalam tubuh pemerintah itu sendiri, tapi juga dibutuhkan keterbukaan informasi yang bersifat transparan dan akuntabel kepada Publik.
Sebagaimana sistim perencanaan nasional yang diprakarsai oleh bappenas dalam mewujudkan kualitas pemerintahan yang baik, wawasan ke depan harus menunjukkan adanya kejelasan dan ketepatan visi, strategi, tujuan dan dukungan terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah. Pada prinsipnya semua itu dimulai dari keterbukaan dan transparansi, yang ditampilkan dengan tersedianya akses dan informasi yang memadai pada setiap proses penyusunan dan implementasi kebijakan publik serta dilibatkannya komponen masyarakat dalam berpartisipasi membantu jalannya program kegiatan yang dicita-citakan, seperti adanya penyelenggaraan pemerintahan negara secara partisipatif dan metode pengambilan keputusan berdasarkan konsensus bersama.
Namun dari hasil observasi dan data yang didapat, ternyata Provinsi Jambi belum juga membentuk pejabat yang berwenang untuk memutuskan apakah suatu informasi itu terbuka atau tidak, hal ini menyebabkan pelaksana kegiatan menjadi bimbang dalam memberikan informasi kepada publik dengan alasan takut disalahkan jika setiap informasi diberikan dan dibuka. Ketakutan ini akan dapat menghambat pelaksanaan visi misi Jambi Emas 2015, karena masyarakat yang ingin mencoba ikut serta mengawasi dan menjadi kontrol dalam pelaksanaan pembangunan menjadi mental dan berbalik arah menjadi memusuhi pemerintah. Untuk lebih lengkap perhatikan tabel 1 berikut.

Tabel 1. Persentase Penunjukan PPID di Kab/Kota Per Provinsi di Indonesia4
No
Provinsi
Persentase (%)
No
Provinsi
Persentase (%)
1
Aceh
8.7
18
Kalimantan tengah
14.29
2
Sumatra Utara
12.12
19
Kalimantan Selatan
23.08
3
Sumatre Barat
5.26
20
Kalimantan Timur
7.14
4
Riau
0
21
Sulawesi Selatan
20.83
5
Kepulauan Riau
14.29
22
Sulawesi Barat
0
6
Jambi
0
23
Sulawesi Tenggara
8.33
7
Bangka Belitung
42.86
24
Sulawesi Tengah
9.09
8
Bengkulu
10
25
Gorontalo
0
9
Sumatra Selatan
20
26
Sulawesi Uttara
0
10
Lampung
35.71
27
Bali
0
11
jawa barat
38.46
28
Nusa Tenggara Barat
0
12
Banten
37.5
29
Nusa Tenggara Timur
0
13
DKI Jakarta
0
30
Maluku
0
14
Jawa Tengah
48.57
31
Maluku Utara
11.11
15
DI Yogyakarta
40
32
Papua Barat
0
16
Jawa Timur
15.79
33
Papua
3.45
17
Kalimatan Barat
0




Dari tabel 1 diatas ada sekitar 12 provinsi yang belum membentuk PPID, sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-undang. Persentase besar kecil pembentukan PPID dipengaruhi dari jumlah kabupaten/kota didalam provinsi yang membentuk PPID sebagai bagian dari pelaksanaan keterbukaan informasi publik menuju good governance. Dari data diatas dapat dilihat juga bahwa Provinsi Jambi merupakan salah satu provinsi yang belum memiliki PPID.
Dilihat dari tindakan-tindakan yang dilakukan Pemerintah Provinsi Jambi dalam memberikan informasi, telah dilakukan semenjak dahulu. Seperti portal website Provinsi Jambi yang telah mencantumkan neraca realisasi program APBD, kemudian dari sisi perencanaan juga sudah ada fortal salah satu program terpenting yakni samisake yang dapat dibuka melalui website Bappeda Provinsi Jambi. Namun yang ditampilkan hanya pelaksanaan secara formal, tingkat keberhasilan dan kegagalan dalam pelaksanaannya, belum diinformasikan secara transparan. Sebagai contoh pada website samisake, yang ditampilkan hanya deskripsi dan gambar pelaksanaan secara umum. Dari segi anggaran, pemerintah masih belum berani terbuka untuk bisa diawasi secara bersama teruama untuk mengantipasi ketika terjadi penyelewengan dana yang berpengaruh terhadap keberhasilan program.

3.3.    Eksistensi Pemerintah Provinsi Jambi dalam memberikan Informasi
Keterbukaan informasi merupakan salah satu elemen penting dalam mewujudkan penyelenggaraan Negara yang terbuka dan tranparan untuk memberikan informasi kepada publik sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku, karena hak atas informasi akan menjadi sangat penting dimasa perkembangan terhadap penyelenggaraan Negara yang harus memenuhi tuntutan pelayanan cepat, tepat dan efisien menuju good governance.
Dr. Sayid Sekh[5] mengatakan bahwa, keterbukaan informasi yang diterapkan Provinsi Jambi bukanlah keterbukaan informasi yang tergambar secara transparan, yang bisa membuka informasi secara keseluruhan, namun hanya memberikan informasi sebagian yang diperlukan untuk dibuka. Hal ini dilakukan untuk menghindari penyalahgunaan informasi oleh publik, yang bukan melaksanakan fungsi kontrol bagi pelaksanaan kegiatan, malah menghambat pelaksanaan kegiatan. Tidak jarang SKPD pelaksana dijadikan “ATM” oleh Lembaga masyarakat yang tidak bertanggung jawab.
Dari masyarakat media sendiri berdasarkan hasil observasi, ketidakterbukaan pemerintah dijadikan senjata andalan untuk menghujat dan mengkritik, hal ini sangat berbahaya terhadap hubungan harmonis antar kedua lembaga. Sebagai contoh seperti yang terjadi dalam kasus penggunaan dana Samisake pada tahun 2011, banyak sekali hujatan-hujatan kepada pemerintah yang menganggap pelaksanaannya tidak berhasil. Permasalahan ini barangkali bisa dihindari ketika informasi itu ada didalam fortal dan masyarakat bisa langsung melihat dimana letak kegagalan programnya, hingga bisa diawasi pada tahun selanjutnya dan bisa diketahui secara cepat apakah ada indikasi penyelewengan dan ketidak tepat sasaran.
Sebagai perbandingan di daerah Kota Depok, pemerintah setempat membuat pengumuman terhadap rincian anggaran dana bos melalui billboard. Bagi masyarakat yang terlibat dan tersentuh langsung dana tersebut dapat mengetahui berapa jumlah bantuan yang dapat diterima serta kemana arah dana itu diperuntukkan ketika dana dicairkan, selanjutnya jika terjadi penyelewengan dengan segera masyarakat dapat memberikan informasi balik kepada penanggung jawab anggaran bahwa sasaran program tidak tercapai. Bisa dibayangkan ketika masyarakat tidak tahu berapa yang diterima dan diperuntukkan kemana dana tersebut, masyarakat akan diam dan penyelewengan akan semakin merajalela.

3.4.    Pembahasan
Keterbukaan informasi merupakan sesuatu yang sangat penting didalam penyelenggaraan Negara. Karena kecendrungan penyelewengan kekuasaan yang dilakukan pemerintah jika tidak diimbangi dengan transparansi akan sangat dominan berperan, semakin besar kekuasaan maka semakin besar pula terjadinya kemungkinan penyelewengan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Selain itu kembali pada prinsip demokrasi yang menginginkan bahwa pemerintahan itu dilaksanakan oleh rakyat dan untuk rakyat merupakan suatu pernyataan yang tidak bisa dihilangkan begitu saja. Dengan adanya keterbukaan, memungkinkan akses bebas masyarakat terhadap informasi akan memiliki pemahaman yang jernih. Sehingga mampu berpartisifasi aktif dalam menciptakan pemerintahan yang konstruktif dan rasional menuju prinsip demokrasi.
Prinsip pemerintahan yang baik dan terbuka sebagaimana yang diharapkan dalam perwujudan good governace tidak berati bahwa semua informasi mengenai penyelenggaraan boleh diakses oleh publik, ada informasi-informasi tertentu yang tidak bisa diketahui oleh publik berdasarkan undang-undang. Jika dilihat dari sisi bentuknya, informasi dapat dibedakan atas 4 kategori yakni:1). Informasi yang wajib disediakan dan diumumkan secara berkala; 2) Informasi yang wajib diumumkan secara serta merta; 3).Informasi yang wajib tersedia setiap saat; 4) Dan infromasi yang dikecualikan. Dari keempat kategori informasi ini ada juga informasi yang oleh undang-undang harus dirahasiakan untuk kepentingan-kepentingan tertentu yang jika dibuka akan membahayakan bagi perseorangan, badan atau Negara.
Masyarakat Transparansi Indonesia dalam memberikan ciri-ciri good governance[6] ada 9, yakni partisipasi masyarakat, tegaknya supremasi hukum, keterbukaan, peduli pada stake holder, berorientasi pada konsensus, kesetaraan, efektifitas dan efisiensi, akuntabilitas, serta visi dan misi yang strategis dari para pemimpin. Dari kesembilan ciri-ciri tersebut jelas disebutkan tiga hal yang sangat penting yakni keterbukaan, partisifasi masyarakat serta visi dan misi yang strategis.
Dilihat peran Pemerintah Provinsi Jambi untuk hal visi dan misi sudah baik, didalamnya sudah ada keinginan menyertakan partisifasi masyarakat dan prinsip keterbukaan, namun masih belum dilaksanakan secara optimal. Ini terbukti dengan masih belum dibentuknya PPID sebagai pejabat yang mengelola informasi. Dampaknya kemudian jika penyelenggaraan tidak terbuka (transparan) dan PPID tidak terbentuk, maka bisa menimbulkan terjadinya korupsi politik dan penyalahgunaan jabatan publik untuk keuntungan pribadi dan kelompok. Disisi lain dengan tidak transparannya pemerintah dapat menyebabkan semua bidang kegiatan ekonomi bersinggungan dengan birokrasi pemerintahan yang diwarnai dengan uang pelicin sehingga semua proses akan berbelat-belit dan mahal.
Menurut UNDP6, jika penyelenggaraan pemerintahan tidak transparan maka akan terjadinya masyarakat yang pasif, tidak ada kritik, unjuk rasa dan ketidak berdayaan maysarakat akan aturan dan doktrin. Pemerintah akan tertutup dengan segala keburukannya sehingga masyarakat tidak akan mengetahui apa yang terjadi, hal yang paling dominan kemudian adalah tindakan otoriter dari pemerintah dalam menjalankan aktivitasnya. Hal ini menurut peneliti, jika penyelenggaraan Pemerintahan sebagaimana pendapat UNDP sangat bertentangan dengan prinsip demokrasi dan tuntutan reformasi yang menginginkan keterbukaan dan kebebasan pers dalam menjalankan fungsinya membantu mengawasi jalannya pemerintahan.
Berdasarkan hal-hal diatas sangat penting kiranya Pemerintah Provinsi Jambi memberikan transparansi terhadap semua kegiatan dan programnya, disamping itu pembentukan PPID dalam mengawasi jalannya transparansi merupakan salah satu konsekwensi dan alternatif guna mensukseskan Jambi Emas tahun 2015.

4.         SIMPULAN DAN SARAN
4.1.    Simpulan
1.    Dilihat dari peran dan fungsi pentingnya Keterbukaan Informasi publik, jika diselaraskan dengan visi misi Jambi Emas 2015 sangat berpengaruh terutama dalam bidang pengikutsertaan masyarakat dalam memberikan pengawasan guna mewujudkan pembangunan menuju jambi dengan ekonomi yang maju, aman, adi dan sejahtera.
2.    Dari sisi eksistensinya dalam memberikan informasi, pemerintah Provinsi Jambi masih belum eksis. Hal ini terlihat dengan belum dibentuknya PPID sebagai sarana satu pintu dalam memberikan informasi kepada publik terhadap hasil-hasil dan perencanaan serta pelaksanaan program pembangunan, disamping itu informasi yang diberikan oleh pemerintah daerah juga masih sangat sulit didapatkan oleh publik dalam hal perencanaan dan pelaksanaan kegiatan yang berlangsung.

4.2.    Saran
Adapun saran yang dapat diberikan antara lain:
a.    Pemerintah Provinsi Jambi diharapkan dapat lebih transparan dalam menginformasikan program-program kegiatan kepada publik. Terkait dengan pengawasan keberhasilan setiap program yang dilaksanakan.
b.    Pembentukan PPID sangat diperlukan sebagai alat penyaring informasi yang akan diberikan kepada publik.

DAFTAR PUSTAKA


[1]Ikhwan M, 2010. “Penerapan Asas Diskresi dalam pembuatan keputusan tata usaha Negara” diakses pada tanggal 12 Juni 2012 melalui http://studihukum.blogspot.com/2010/10/penerapan-asas-diskresi-dalam-pembuatan.html.
[2] Sofian effendi, Prof. 2005. Makalah.Membangun Good Governance Merupakan Tugas Kita Bersama. Diakses pada tanggal 21 Juni 2012 melalui http://sofian.staff.ugm.ac.id/artikel/membangun-good-governance.pdf
[3] Mukhtar Latif, Prof. “Makalah Keterbukaan Informasi Publik” Dalam seminar Rakor dan Advokasi Implementasi percepatan UU No. 14 tahun 2008. Jambi
[4] Tulus Subardjono, 2012. Refeleksi dan evaluasi pelaksanaan UU No. 14 tahun 2008 Tentang KIP. Makalah. Dalam seminar Rakor dan Advokasi Implementasi percepatan UU No. 14 tahun 2008. Jambi.
[5]Sayid Sekh. Kepala Balitbangda Provinsi Jambi. Wawancara pada tanggal 27 Juni 2012.
[6]Keterbukaan dan Keadilan, 2010. Diakses pada tanggal 24 Juli 2012 melalui http:// halil-materipkn.blogspot.com /2010 /01 /bab-3- keterbukaan-dan keadilan. html

Data blankspot