Jumat, 10 Mei 2013

Pengawasan Internal dalam Pemerintahan

BAB I
PENDAHULUAN

A.        Latar Belakang
Agenda reformasi yang dilaksanakan secara bertahap oleh pemerintah sejak beberapa waktu lalu telah dan akan terus membuahkan banyak perubahan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Perubahan tersebut menyangkut berbagai bidang termasuk bidang pemerintahan. Pelaksanaan reformasi di bidang pemerintahan yaitu dikeluarkannya Undang–Undang No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang–Undang No 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Dalam Undang–Undang 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah mengatur tentang sistem pemerintahan daerah dan otonomi daerah. Kebijakan otonomi daerah melalui Undang–Undang tersebut memberikan otonomi yang sangat luas kepada daerah kabupaten/kota untuk bertanggung jawab terhadap urusan rumah tangganya sendiri.. Tuntutan otonomi diatas bisa memberikan manfaat kepada daerah untuk dapat meningkatkan kualitas demokrasi, peningkatan reformasi pelayanan publik, peningkatan percepatan pembangunan dan terciptanya pemerintahan yang baik jika dilaksanakan secara sungguh–sungguh.
Tujuan diberikannya otonomi kepada daerah adalah agar yang bersangkutan dapat berkembang sesuai dengan kemampuannya sendiri dan tidak bergantung kepada pemerintah pusat. Dengan demikian kepada daerah yang bersangkutan lebih dituntut kemampuannya untuk memperoleh sumber–sumber dana untuk membiayai sendiri penyelenggaraan rumah tangganya sejalan dengan kewenangan yang diberikan kepada daerah tersebut.
Maka untuk memungkinkan daerah mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat atas rumah tangganya sendiri di dalam penyelenggaraan pemerintah di daerahnya, untuk itu perlu mewujudkan pemerintahan yang bertanggung jawab serta mampu melaksanakan, memikul, dan menunaikan kewajiban sebagaimana yang dituntut pemerintah untuk mendukung tanggung jawabnya, pemerintah daerah memerlukan sumber-sumber dana. Di dalam Undang–undang No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah, menyebutkan sumber–sumber pendapatan daerah adalah :
1.        Pendapatan asli daerah yang selanjutnya disebut PAD, yaitu:
a.        Pajak Daerah;
b.        Retribusi Daerah;
c.         hasil pengelolaan kekayaan Daerah yang dipisahkan; dan
d.        lain-lain PAD yang sah.
2.        Dana perimbangan.
3.        Pendapatan daerah lainnya yang sah.

Hal ini menunjukkan bahwa salah satu sumber pendapatan daerah adalah pajak daerah. Menurut Undang–Undang Nomor 34 tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah menyebutkan, Pajak Daerah adalah iuran wajib pajak yang dilakukan oleh pribadi / badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang–undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah daerah dan pembangunan daerah. Salah satu instansi daerah yang mengelola pajak daerah adalah Dinas Pendapatan Daerah yang disingkat dengan Dispenda adalah unsur pelaksana Pemerintah Daerah di bidang pendapatan daerah.
Suatu organisasi dapat berjalan dengan baik membutuhkan pengawasan untuk seluruh aktivitas organisasi. Rusaknya sendi–sendi manajemen, khususnya ketidaksesuaian rencana program dengan pelaksanaannya disebabkan karena kurang efektifnya pengawasan pada organisasi tersebut. Untuk itu dalam setiap organisasi dibutuhkan pengawasan dalam rangka mencegah kemungkinan–kemungkinan penyimpangan dari rencana–rencana yang telah ditetapkan sebelumnya.
Pengawasan dapat diartikan sebagai aktivitas untuk menemukan, mengoreksi penyimpangan–penyimpangan penting dalam hasil yang dicapai dari aktivitas yang direncanakan. Maka wajar apabila ditemukan kekeliruan – kekeliruan tertentu serta kegagalan–kegagalan maka dalam hal ini fungsi pengawasan sangat diperlukan. Dengan adanya pengawasan yang baik maka akan dapat dipastikan tercapainya tujuan organisasi dengan efektif dan efisien.
Pengawasan pada hakekatnya merupakan fungsi yang melekat pada seorang leader atau top manajemen dalam setiap organisasi, sejalan dengan fungsi-fungsi dasar manajemen lainnya yaitu perencanaan dan pelaksanaan. Demikian halnya dalam organisasi pemerintah, fungsi pengawasan merupakan tugas dan tanggung jawab seorang kepala pemerintahan, seperti di lingkup pemerintah provinsi merupakan tugas dan tanggung jawab gubernur sedangkan di pemerintah kabupaten dan kota merupakan tugas dan tanggung jawab bupati dan walikota. Namun karena katerbatasan kemampuan seseorang, mengikuti prinsip-prinsip organisasi, maka tugas dan tanggung jawab pimpinan tersebut diserahkan kepada pembantunya. Orang-orang yang akan ditempatkan pada lembaga-lembaga pengawasan perlu dipersiapkan secara matang melalui pola pembinaan terpadu dan berkesinambungan.
Maksud pengawasan dalam rumusan yang sederhana adalah untuk memahami dan menemukan apa yang salah demi perbaikan di masa mendatang. Hal itu sebetulnya sudah disadari oleh semua pihak baik yang mengawasi maupun pihak yang diawasi termasuk masyarakat awam. Sedangkan tujuan pengawasan itu adalah untuk meningkatkan pendayagunaan aparatur negara dalam melaksanakan tugas-tugas umum pemerintahan dan pembangunan menuju terwujudnya pemerintahan yang baik dan bersih (good and clean government).
Sesuai dengan kebijakan otonomi daerah dan pemerintah daerah, maka pemerintah mengeluarkan Undang–undang tentang Pemerintahan Daerah yang tertuang dalam Undang–Undang No. 32 tahun 2004 Bab XII pasal 218 tentang Pembinaan dan Pengawasan :
(1). Pengawasan atas  penyelenggaraan   pemerintahan   daerah dilaksanakan oleh Pemerintah yang meliputi:
a.      Pengawasan atas pelaksanaan-urusan pemerintahan di daerah;
b.      Pengawasan terhadap peraturan daerah dan peraturan kepala daerah.
(2). Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat  (1)  huruf  a dilaksanakan oleh aparat pengawas intern Pemerintah sesuai petaturan perundang-undangan.


Berbicara tentang pengawasan sebenarnya bukanlah tanggung jawab institusi pengawas semata melainkan tanggung jawab semua aparatur pemerintah dan masyarakat pada semua elemen. Karena sebetulnya institusi pengawas seperti Inspektorat Daerah, bukannya berdiam diri, tidak berbuat, tidak inovatif, adem dan sebagainya. Tetapi jauh dari anggapan itu, insan-insan pengawas di daerah telah bertindak sejalan dengan apa yang dipikirkan masyarakat itu sendiri. Langkah pro aktif menuju pengawasan yang efektif dan efisien dalam memenuhi tuntutan itu telah dilakukan seperti melakukan reorganisasi, perbaikan sistem, membuatan pedoman dan sebagainya, namun kondisinya sedang berproses dan hasilnya belum signifikan dan terwujud seperti yang diinginkan oleh masyarakat tersebut.
Dalam Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah pada Pasal 1 Ayat (12) menyebutkan unsur pengawas daerah adalah Badan Pengawas Daerah yang selanjutnya disebut Inspektorat Provinsi, Inspektorat Kabupaten dan Inspektorat Kota. Inspektorat Kabupaten/Kota merupakan unsur pengawas penyelenggaraan pemerintahan daerah, yang dipimpin oleh seorang Inspektur yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada bupati dan secara teknis administratif mendapat pembinaan dari sekretaris daerah.
Adapun tugas pokoknya adalah melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan urusan pemerintahan, pelaksanaan pembinaan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten/kota. Inspektorat Daerah sebagai Aparat Pengawas Internal Pemerintah Daerah memiliki peran dan posisi yang sangat strategis baik ditinjau dari aspek fungsi manajemen maupun dari segi pencapaian visi dan misi serta program pemerintah.
Dari segi fungsi-fungsi dasar manajemen, ia mempunyai kedudukan yang setara dengan fungsi perencanaan atau fungsi pelaksanaan. Sedangkan dari segi pencapaian visi, misi dan program-program pemerintah, Inspektorat daerah menjadi pilar yang bertugas sebagai pengawas sekaligus pengawal dalam pelaksanaan program yang tertuang dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
Menurut Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Antasari Azhar
“jika lembaga pengawas internal lemah, pencegahan korupsi tidak efektif. Untuk itu pengawas internal pemerintah harus efektif dalam mencegah tindak pidana korupsi, karena simpul dalam manajemen pemerintah itu adalah aparat pengawasan”[1].

Sebagai pengawas internal, Inspektorat Daerah yang bekerja dalam organisasi pemerintah daerah tugas pokoknya dalam arti yang lain adalah menentukan apakah kebijakan dan prosedur yang ditetapkan oleh manajemen puncak (Kepala Daerah) telah dipatuhi dan berjalan sesuai dengan rencana, menentukan baik atau tidaknya pemeliharaan terhadap kekayaan daerah, menentukan efisiensi dan efektivitas prosedur dan kegiatan pemerintah daerah, serta yang tidak kalah pentingnya adalah menentukan keandalan informasi yang dihasilkan oleh berbagai Unit/Satuan Kerja sebagai bagian yang integral dalam organisasi Pemerintah Daerah.
Dalam suatu situs (sumbarprov.go.id) dikatakan bahwa Inspektorat Daerah sebagai pengawas internal memiliki karakteristik yang spesifik, dan ia memiliki ciri antara lain adalah :
1.    Alat dalam organisasi Pemerintah Daerah yang menjalankan fungsi quality assurance.
2.    Pengguna laporan pengawas internal adalah top manajemen (Kepala Daerah) dalam organisasi Pemerintah Daerah yang bersangkutan.
3.    Dalam pelaksanaan tugas seperti halnya pengawas eksternal dapat menggunakan prosedur pemeriksaan bahkan harus memiliki prosedur yang jelas.
4.    Kegiatan pemeriksaan bersifat pre-audit atau build-in sepanjang proses kegiatan berlangsung.
5.    Fungsi pemeriksaan yang dilakukan lebih banyak bersifat pembinaan dan dalam praktiknya memberikan saran dan pertimbangan kepada Kepala Daerah, ia tidak berwenang untuk menghakimi apalagi menindak[2].

Berdasarkan argumen di atas sangatlah jelas dan nyata bahwa Inspektorat Daerah sebagai pengawas internal memiliki peran yang sangat strategis, sebagai katalisator dan dinamisator dalam menyukseskan pembangunan daerah.

B.        Rumusan Masalah
Dari uraian diatas, kemudian yang menjadi rumusan masalah dalam penulisan ini adalah
1.    Bagaimana eksistensi Pelayanan publik dalam kaitannya dengan pengawasan Internal dalam pemerintah?
2.    Bagaimana pula pengendalian intern oleh aparat pengawasan internal dalam penyelenggaraan pelayanan publik?




C.   Tujuan Penulian
Adapun tujuan dari penulisan ini adalah
1.    Untuk mengetahui dan menganalisis Bagaimana eksistensi Pelayanan publik dalam kaitannya dengan pengawasan Internal dalam pemerintah
2.    Untuk mengetahui dan menganalisis Bagaimana pula pengendalian intern oleh aparat pengawasan internal dalam penyelenggaraan pelayanan publik.














BAB II
PEMBAHASAN

A.        Sudut Pandang Baru Terhadap Eksistensi Pelayanan Publik Dalam Kaitannya Dengan Pengawasan Internal Dalam Pemerintahan
Perkembangan jaman telah telah merubah kebutuhan, aktivitas, dan tuntutan masyarakat yang pada gilirannya menggeser paradigma peran pemerintah. Osborne dan Gaebler (1998) dalam bukunya Reinventing Government menyebutkan perlunya perubahan peran dan fungsi pemerintah dengan jalan mentransformasikan euntrepreunal spirit ke dalam birokrasi. Spirit yang dimaksud adalah kemampuan menggunakan sumber daya dengan cara baru guna memaksimalkan produktivitas dan efektivitas. Berkaitan dengan itu, Suryani Sidik dalam makalahnya “Strategi Pengelolaan Sektor Publik (2002)” menyitir pendapat Manion (1983) menyatakan bahwa, perkembangan jaman membuat peran pemerintah telah berubah[3].
        a)          Salah satu elit akomodasi menjadi salah satu angkutan umum yang partisipasi dan pembagian kekuasaan;
        b)          Salah satu komandan menjadi salah menginformasikan, membujuk dan memimpin;
         c)          Salah satu oing hal untuk orang-orang menjadi salah satu membuat orang untuk melakukan untuk diri mereka sendiri;
        d)          Salah satu regulasi menjadi salah satu standar valuantary dan regulasi diri.
Pergeseran paradigma ini menuntut perubahan peran pemerintah dari
    a)        Pengatur menjadi pelayan;
   b)        Pendekatan kekuasaan menjadi pendekatan fleksibel; dan
    c)        Kebiasaan melakukan cara-cara sloganitis menjadi cara-cara yang realisitis dan pragmatis[4].

Tuntutan Pelayanan Publik Di Era Reformasi  Dari hasil penelitian Ulbert Silalahi (Utomo, 2003) atas pelayanan publik sebelum reformasi diperoleh data bahwa tingkat kepuasan layanan aparatur negara yang diberikan kepada masyarakat menunjukkan prosentase rata-rata 33.7 % yang dikategorikan rendah. Wujud atau bentuk pelayanan publik tersebut yang merupakan sains of service dari sikap pelayanan aparatur negara dapat berbagai bentuk dan wujud antara lain apatis, menolak berurusan, bersikap dingin, memandang rendah, bekerja mekanis, ketat pada prosedur dan sering mem-ping-pong masyarakat[5].
Sejalan dengan hasil penelitian diatas, pada tahun 2002 hasil penelitian dari Agus Dwiyanto dalam bukunya “Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia” bahwa kinerja pelayanan birokrasi pemerintah pada masa reformasi walaupun telah berjalan lebih kurang 4 (empat) tahun tidak banyak mengalami perubahan secara signifikan. Para aparatur negara atau birokrat atau birokrasi pemerintahan masih tetap menunjukkan derajat rendah pada akuntabilitas, responsivitas, efisiensi dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Bahkan secara empirik di era reformasi ini Perubahan paradigma pemerintah ini berdampak pada tuntutan dan kompetensi pemerintah khususnya birokrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik.
Selanjutnya perubahan paradigma pemerintah dapat terjadi dikarenakan enam faktor, yaitu (a) perubahan besaran dari yang harus dilakukan oleh bidang administrasi Negara; (b) Perubahan diakibatkan oleh proses demokratisasi yang terjadi sehingga pemerintah tidak lagi dirasakan sebagai yang lebih tinggi kedudukannya dalam masyarakat “change in the mutual positions of administration and citizens”, (c) pengelolaan pelayanan publik yang dipisahkan dari administrasi Negara menjadi bentuk lainnya; (d) penerapan standar criteria kinerja pelayanan publik yang sama dengan dipergunakan sector swasta; (e) peningkatan produktivitas sektor publik harus dapat diukur dan sekaligus sebagai ukuran kepuasan masyarakat terhadap pelayanan publik; dan (f) perubahan yang terjadi juga dikarenakan adanya perubahan budaya didalam sector publik itu sendiri yang menempatkan pelanggan yang harus dilayani sebaik-baiknya.
Dengan demikian pemerintah menjadi focus of interest dalam perubahan paradigma penyelenggaraan pelayanan publik. Siap tidak siap ini merupakan konsekuensi dari adanya perubahan lingkungan global menuju reformasi birokrasi. Model Reformasi birokrasi menjadi jawaban atas perubahan paradigma pemerintahan, diantara adalah perbaikan kualitas pengawasan oleh Bawasda. Kondisi ini merupakan tantangan sekaligus peluang agar terjadi perubahan paradigma Inspektorat sebagai bagian dari reformasi birokrasi menuju era pelayanan publik.

B.        Pengendalian Intern Oleh Aparat Pengawasan Internal Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik

Pengendalian intern adalah proses yang dapat dipengaruhi manajemen dimana pegawai dalam menyediakan secara layak sesuatu kepastian mengenai prestasi yang diperoleh secara objektif dalam penerapannya tentang bagian laporan keuangan yang dapat dipercaya, diterapkannya efisiensi dan efektivitas dalam kegiatan operasional organisasi dan diterapkannya peraturan dan hukum yang berlaku agar ditaati oleh semua pihak. Definisi tersebut menunjukan bahwa tujuan pengendalian intern adalah: 1. Terciptanya keandalan laporan keuangan; 2. Meningkatkan efisiensi dan efektifitas operasi organisasi; 3. Mendorong dipatuhi undang-undang dan peraturan-peraturan yang berlaku.
Martin Painter menyebutkan dimensi pembangunan kapasitas pemerintahan, diantaranya kapasitas adminsitrasi dengan indikator keberhasilannya adalah dari kualitas pengawasan (resource control), yang dalam kesempatannya ini pengawasan oleh Inspektorat (Bawasda). Bawasda inilah yang secara fungsional memberikan penilaian atas keberhasilan penyelenggaraan sektor publik oleh Pemerintah berdasarkan hasil evaluasi dan pengawasan yang telah dilakukan. Peran Bawasda dalam hal ini akan menjadi sangat strategis apabila diikuti dengan kemauan untuk menjadi bagian dari fungsi pelayanan.
Permasalahan yang selama ini terjadi dalam penyelenggaraan pelayanan publik adalah Inspektorat sebagai institusi pengawas fungsonal belum menjadi bagian dari upaya peningkatan kualitas pelayanan publik. Selama ini pelaksanaan pengawasan fungsional oleh Inspektorat lebih terkonsentrasi kepada audit operasional atau ketaatan terhadap 3 E (ekonomis, efisiensi, dan efektivitas), sedangkan pemeriksaan yang secara khusus mengaudit aspek pelayanan kurang tersentuh. Kondisi ini yang harus segera disadari oleh Inspektorat, bahwa tugas utama Pemerintah adalah bagaimana dapat memberikan pelayanan kepada publik dengan baik. Untuk menentukan keberhasilan pelayanan publik tersebut perlu menentukan terlebih dahulu indikator-indikatornya.
Kumorotomo dalam Agus Dwiyanto (2002:50) menggunakan kriteria kinerja pelayanan publik, yaitu: (a) efisiensi, menyangkut pertimbangan tentang keberhasilan orhanisasi publik mendapat laba, memanfaatkan faktor-faktor produksi serta pertimbangan dari rasionalitas ekonomi; (b) efektivitas, berkaitan dengan efektivitas pencapaian tujuan organisasi pelayanan publik; (c) keadilan, berkaitan dengan distribusi dan alokasi layanan oleh organisasi pelayanan publik; (d) daya tanggap, adalah kemampuan untuk merespon kebutuhan masyarakat. Sedangkan Agus Dwiyanto (2002;51) mempergunakan parameter untuk melihat kinerja pelayanan publik dari dua pendekatan, yaitu :
(a)   pendekatan pertama untuk melihat kinerja pelayanan publik dari perspektif pemberi layanan, dan
(b)   pendekatan kedua melihat kinerja dari perspektif pengguna jasa[6].

Kedua pendekatan ini harus dilihat dari sudut pandang yang saling berinteraksi (interconnection) dan saling mempengaruhi(interdependensi).
Pemerintah sendiri melalui Menteri PAN mengeluakan kebijakan untuk melihat kinerja pelayanan publik melalui Keputusan Menteri PAN Nomor:63/KEP/M.PAN/7/2003 tanggal 10 Juli 2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaran Pelayanan Publik , dengan 10 (sepuluh) prinsip pelayanan publik, yaitu: Kesederhanaan, Kejelasan, Kepastian Waktu, Akurasi, Keamanan, Tanggung jawab, Kelengkapan sarana dan prasarana, Kemudahan Akses, Kedisiplinan, Kesopanan, dan keramahan, serta Kenyamanan.
Inspektorat belum dilibatkan dalam mengukur tingkat Indeks Kepuasan Masyarakat (IKM). Filosofinya adalah dalam melihat pelayanan publik perlu dilihat dari 2 (dua) sisi yaitu sisi internal (penyelenggara) dan sisi eksternal (masyarakat sebagai customer) sehingga dalam menilai pelayanan yang dilakukan oleh unit pelaksana dapat lebih seimbang dan akurat Oleh karena itu Badan Pengawas perlu melakukan survey IKM untuk mengetahui dan mengukur tingkat kepuasan apakah unit pelayanan sudah memadai dalam melaksanakan pelayanannya kepada publik sebagaimana diamanatkan dalam Keputusan Menteri PAN Nomor:25/KEP/M.PAN/2/2004 tanggal 24 Pebruari 2004 tentang Pedoman Umum Penyusunan Indeks Kepuasan Masyarakat Unit Pelayanan Instansi Pemerintah, telah memberikan amanat kepada Aparat Pengawasan untuk mengukur kinerja pelayanan publik dengan IKM[7].














BAB III
KESIMPULAN
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa:
1.    Pemerintah menjadi focus of interest dalam perubahan paradigma penyelenggaraan pelayanan publik. Siap tidak siap ini merupakan konsekuensi dari adanya perubahan lingkungan global menuju reformasi birokrasi.
2.    Tugas utama Pemerintah adalah bagaimana memberikan pelayanan kepada publik dengan baik. Untuk menentukan keberhasilan pelayanan publik tersebut perlu menentukan terlebih dahulu indikator-indikator keberhasilannya. Pengendalian intern adalah proses yang dapat dipengaruhi manajemen dimana pegawai dalam menyediakan secara layak sesuatu kepastian mengenai prestasi yang diperoleh secara objektif dalam penerapannya tentang bagian laporan keuangan yang dapat dipercaya, diterapkannya efisiensi dan efektivitas dalam kegiatan operasional organisasi dan diterapkannya peraturan dan hukum yang berlaku agar ditaati oleh semua pihak, akan tetapi dalam penyelenggaraan pelayanan publik Inspektorat sebagai institusi pengawas fungsonal belum menjadi bagian utuh dari upaya peningkatan kualitas pelayanan publik.


DAFTAR PUSTAKA

Buku
Mas’ud Said, M. 2007. “Birokrasi di Negara Birokratris”. UMM Pres. Malang.
Sedarmayanti, 2009. “Reformasi Administrasi Publik Reformassi Brokrasi Dan Kepemimpinan Masa Depan”. PT Refika Aditama  Bandung

Internet
Alwi Hashim Batubara. 2006. “Pelayanan Publik Sebagai Pintu Masuk Dalam Mewujudkan Good  Governance”. Jurnal Analisis Administrasi dan Kebijakan. Vol.3 No. 2 Diakses melalui http: //repository. usu.ac.id /handle /123456789/17995.
Dhoni widianto. 2009. “Pengawasan Pelayanan Publik  tantangan bagi  eksistensi inspektorat” diakses melalui  http://dhoniwidianto.com/2009/03/pengawasan-pelayanan-publik-tantangan.html.
Faisal Tamin 2004. “Reformasi Birokrasi analisis pendayagunaan aparatur Negara”. Blantika. Jakarta.
Hutabalian, Vanny Pasmaulina. 2010. “Peranan Badan Pengawas Daerah/Inspektorat Daerah Dalam Pelaksanaan Fungsi Pengawasan Pengelolaan Pajak Daerah Kabupaten Samosir”. Skripsi. Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara. Medan.

PerUndang-Undangan
Republik Indonesia, Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Republik Indonesia, Undang-undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah.




[1] Baca Media Indonesia, 28 Maret 2008.
[2] Inspektorat Daerah sebagai pengawas internal diakses melalui http:/www.Sumbarprov.go.id/
[3] Dhoni widianto. Pengawasan Pelayanan Publik  tantangan bagi  eksistensi inspektorat diakses melalui  http://dhoniwidianto.com/2009/03/pengawasan-pelayanan-publik-tantangan.html. 2009.
[4] Ibid
[5] Alwi Hashim Batubara Pelayanan Publik Sebagai Pintu Masuk Dalam Mewujudkan Good  Governance”. Jurnal Analisis Administrasi dan Kebijakan. Vol. 3 No. 2 Mei-Agustus 2006. Diakses melalui http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/17995 hal. 2
[6] Dhoni Widianto.Op.cit.
[7] . Alwi Hashim Batubara. Op. Cit.

Data blankspot