Rabu, 26 Oktober 2011

sengketa pasca pilkada

SENGKETA PASCA PILKADA DI PROVINSI JAMBI
(Analisis Terhadap Penyebab Dan Solusi Permasalahan)
POST LOCAL ELECTION DISPUTE IN JAMBI PROVINCE
 (Analysis Of Cause And Solution)*
 Dipresentasikan di Pusbindiklat LIPI tahun 2011

Joni Martin
Balitbangda Provinsi Jambi
Jln. R.M Nur Atmadibrata No. 05 Telanai Pura Jambi
Telp.0741 62455 Jambi
Email: Joni.martin73@yahoo.co.id


ABSTRACT
There are always disputes after local elections in Indonesia. The disputes are always appealed to the constutional court. There were 560 case of dispute in 2004, and 246 cases in 2010. In 2011 it is predicted that there will be 80 cases out of 114 local elections to appeal to the constitutional court. The research was conducted using a qualitative approach and analyzed descriptive. The data was collected through literature study, the result shows that the disputes in Jambi Province are caused by several factors, namely the politicians’ maturity in politics, their event of mentality and morality, the regeneration system of the parties and the voters’ culture.

Keywords : Dispute, post-election, local.


ABSTRAK
Sengketa pasca pilkada selalu terjadi dalam penyelenggaraan pesta demokrasi di Indonesi. Sengketa tersebut selalu sampai ke Mahkamah Konstitusi, dari data yang tercatat pada tahun 2004 ada 560 kasus sengketa, tahun 2010 sebanyak 246 kasus sementara tahun 2011 dari 114 Pemilukada, diprediksi mencapai 80 sengketa masuk ke Mahkamah Konstitusi. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif dan dianalisis secara deskriptif. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan secara studi pustaka. Hasil analisis didapat kesimpulan bahwa, terjadinya sengketa politik di Provinsi Jambi dilandasi oleh beberapa faktor, yaitu tingkat kematangan politik para politisi, tingkat mentalitas dan  moralitas, tingkat pengkaderan dalam organisasi kepartaian serta budaya yang dimiliki oleh pemilih.

Kata Kunci: Sengketa, pasca pemilihan, daerah.

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 (selanjutnya disebut UU No. 32 tahun 2004) tentang pemerintahan daerah yang telah diperbaharui dengan Undang-undang Nomor 12 tahun 2008 (selanjutnya disebut UU No. 12 tahun 2008) tentang perubahan kedua atas UU No 32 tahun 2004 yang sekaligus menggantikan Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 (selanjutnya disebut UU No. 22 Tahun 1999) tentang otonomi daerah, telah merubah secara total perpolitikan di Indonesia. UU No. 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah lebih mengarah pada pilkada yang dilakukan secara perwakilan. Sementara itu UU No. 12 tahun 2008 secara tegas menyatakan pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung. Hal ini diikuti dengan keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 2005 tentang pemilihan, pengesahan, pengangkatan dan pemberhentian kapala daerah. Perubahan tersebut sekaligus merubah pola perpolitikan di Indonesia, yang selama ini para politisi lebih cendrung konsentrasi di tingkat DPRD, tetapi sekarang menempatkan politisi pada peran yang begitu luas tidak hanya di tingkat DPRD tetapi juga di tingkat masyarakat ramai.
Dalam teknis pelaksanaan pilkada, telah mengalami perubahan yang sangat berarti. Hal ini dapat dilihat dengan memberdayakan semua unsur-unsur yang terkait dengan pemilihan umum, seperti KPUD, Panwas, aparat keamanan dan pemerintah daerah itu sendiri. Perubahan sistem dalam pilkada tersebut adalah sebagai tindak lanjut dari pelaksanaan pemilihan presiden secara langsung, sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945, pasal 6A ayat ( 1), “Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat“ demikian juga halnya yang ditegaskan dalam Undang-undang Nomor 23 tahun 2003 tentang pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden.
Dengan penyerahan teknis pelaksanaan pemilihan kepada daerah yang bersangkutan, tentunya mempunyai suatu konsekuensi positif dan negatif. Konsekuensi positifnya adalah, bahwa hal tersebut telah menciptakan nuansa demokrasi dalam sistem pilkada. Dalam hal ini rakyat bisa menyalurkan aspirasinya secara benar dengan terlebih dahulu mengetahui secara pasti calon kepala daerah yang akan dipilihnya. hal ini sekaligus menunjukkan penerapan  sistem demokrasi di daerah, sebagaimana layaknya unsur-unsur yang harus dimiliki oleh sebuah negara demokrasi, yaitu; adanya keterlibatan rakyat dalam pembuatan keputusan politik, adanya tingkat persamaan tertentu diantara warga negara, adanya perlindungan kebebasan dan kemerdekaan dari negara dan diakui oleh warga negara, adanya sistem perwakilan, adanya pemilihan kekuasaan dengan sistem mayoritas. Dari unsur-unsur tersebut dapatlah dikatakan bahwa titik fokus dari negara demokrasi adalah hak-hak yang dimiliki oleh rakyat yaitu hak rakyat untuk memilih kepala daerah sesuai dengan aspirasinya sendiri.
Selain itu, seorang kepala daerah tidak bisa secara leluasa melakukan money politics sebagaimana terjadi dalam pilkada dengan sistem perwakilan. Disisi lain seorang kepala daerah juga harus memenuhi beberapa persyaratan untuk menjadi calon kepala daerah sebagaimana terdapat dalam pasal 58 UU No 32 tahun 2004 antara lain ; 1). Adanya keharusan mengenal daerah dan mengenal daerah setempat. 2). Tidak sedang memiliki tanggungan utang. 3) Memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP). 4). Belum pernah menjabat sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah selam dua kali masa jabatan dalam jabatan yang sama. 5). Serta tidak dalam status sebagai pejabat kepala daerah. Persyaratan tersebut mengarahkan kepada seorang calon kepala daerah tidak hanya dilihat dari politiknya saja tetapi lebih cenderung kedekatannya kepada rakyat dan daerahnya serta tidak memiliki persoalan yang berhubungan hukum. Dengan demikian akan mengarahkan seorang kepala daerah yang mampu membangun kemakmuran rakyat dan daerahnya. 
Sementara itu konsekuensi negatif dalam perubahan sistem pilkada ini adalah, terjadinya beberapa sengketa di daerah. Hal ini didasari karena masih kurangnya kesadaran dari pelaku politik/politisi yang terlibat dalam pilkada, yang cenderung mengutamakan kepentingan sendiri. Disisi lain masyarakat belum bisa memfilter  secara teliti dari kepentingan politisi yang mengatasnamakan rakyat. Bahkan masyarakat kadangkala terprovokasi dan “terhipnotis” oleh propaganda politisi hingga lupa akan kepentingan mereka sendiri. Secara nyata sengketa pasca pilkada yang terjadi dapat kita lihat dari data yang masuk ke meja Mahkamah Konstitusi yakni pada tahun 2004 terjadi 5601 perkara, pada tahun 2010 terjadi 2462 perkara, kemudian pada tahun 2011 terjadi kembali 80 perkara pilkada. Dalam kejadian tersebut hampir semuanya dilatar belakangi karena ketidak puasan dan kekalahan calon kepala daerah yang mereka dukung dan dugaan terdapatnya kecurangan dalam pilkada tersebut.

Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, selanjutnya penulis akan merumuskan permasalahan dalam penelitian ini sebagai berikut :
1.      Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya sengketa dalam pilkada di Provinsi Jambi?.
2.      Bagaimana solusi yang telah dilakukan dalam penyelesaian sengketa pilkada di Provinsi Jambi?.

Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka secara spesifik tujuan penelitian ini adalah  untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang menjadi penyebab terjadinya sengketa dalam pilkada di Provinsi Jambi, serta dapat mengetahui solusi apa yang telah dilakukan guna menyelesaikan sengketa pasca pilkada tersebut.





KERANGKA KONSEPTUAL
Pengertian Sengketa
Sengketa adalah pertentangan antara dua pihak atau lebih yang berawal dari persepsi yang berbeda tentang suatu kepentingan atau hak milik yang dapat menimbulkan akibat hukum bagi keduanya3.
Dalam kosa kata Inggris terdapat 2 (dua) istilah, yakni conflict” dan dispute yang keduanya mengandung pengertian tentang adanya perbedaan kepentingan di antara kedua belah pihak atau lebih, tetapi keduanya dapat dibedakan. Conflict sudah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia yakni “konflik”, sedangkan dispute dapat diterjemahkan dengan arti sengketa. Konflik adalah sebuah situasi dimana dua pihak atau lebih dihadapkan pada perbedaan kepentingan, tidak dapat berkembang dari sebuah sengketa apabila pihak yang merasa dirugikan hanya memendam perasaan tidak puas atau keperihatinannya. Konflik berkembang atau berubah menjadi sebuah sengketa apabila pihak yang merasa dirugikan telah menyatakan rasa tidak puas atau keperihatinannya, baik secara langsung kepada pihak yang dianggap sebagai penyebab kerugian atau pihak lain. Ini berarti sengketa merupakan kelanjutan dari konflik. Sebuah konflik yang tidak dapat terselesaikan akan menjadi sengketa.
Konflik adalah suatu keadaan dimana terjadinya dua penadangan yang berbeda antaran dua kelompok atau lebih dalam mencapaai satu tujuan, sehingga kelompok berada dalam posisi yang tidak bekerja sama4.
Siti nur solechah dalam tulisannya, mengutif pendapat Ramlan Subakti yang mengatakan bahwa, konflik berhubungan dengan “benturan” seperti, perbedaan pendapat, persaingan, dan pertentangan antar individu dengan individu, kelompok dengan kelompok, individu dengan kelompok, yang masing-masing mempunyai kepentingan yang berbeda-beda5. Pendapat lain mengatakan bahwa konflik adalah interaksi dari beberapa keinginan dan tujuan yang berbeda dan berlawanan yang didalamnya perselisihan dapat diproses6.
Dari beberapa pendapat mengenai pengertian konflik diatas jika kita bandingkan dengan pendapat yang mengatakan bahwa pengertian sengketa berarti pertentangan atau konflik, konflik berarti adanya oposisi atau pertentangan antara orang-orang, kelompok-kelompok, atau organisasi-organisasi terhadap satu objek permasalahan yang dapat menimbulkan suatu akibat hukum, dan karenanya dapat diberi sangsi hukum bagi salah satu diantara keduanya, maka dapatlah diambil satu kesimpulan bahwa sengketa merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dengan konflik.
Selanjutnya dari pendapat beberapa ahli diatas, penulis dapat merumuskan bahwa, sengketa merupakan suatu keadaan dimana terjadinya perbedaan pendapat dan pandangan antar individu/kelompok, yang ditimbulkan melalui tindakan-tindakan perlawanan, baik secara langsung maupun tidak secara langsung kepada individu/kelompok yang bertikai melalui media-media tertentu yang sifatnya mengikat kedua belah pihak. Media tertentu disini bisa diartikan sebagai salah satu sarana yang diambil oleh salah satu pihak yang bertikai guna melaksanakan ketidak sepahamannya dengan pihak lain. Media tersebut bisa berupa tindakan-tindakan yang dilakukan melalui jalur hukum, bahkan jalur yang melawan hukum seperti tindakan anarkisme dan pengerahan masal.

Faktor penyebab Sengketa
Sengketa sebagai akibat dari tajamnya perbedaan pendapat dan pandangan yang saling berbenturan, pada dasarnya ditimbulkan oleh beberapa latar belakang yang saling berkaitan. Latar belakang tersebut diekspresikan dalam bentuk kekerasan dan keanekaragaman yang menimbulkan kekacauan hingga terhentinya suatu keadaan yang seharusnya berjalan dengan tertib dan lancar.
Penyebab terjadinya sengketa dapat dikelompokkan dalam dua kategori besar: yakni Karakteristik Individual, yang didalamnya terdapat, Pertama nilai sikap dan kepercayaan (values, attitude, and baliefs). Kedua,kebutuhan dan kepribadian (needs and personality). Ketiga, perbedaan persepsi (perseptual differences), serta faktor situasi4.
Faktor-faktor lain yang melatar belakangi penyebab terjadinya sengketa sebagai bagian dari konflik dalam politik antara lain, sebagaimana yang dikemukakan oleh Djabal Tarik dalam laporan penelitiannya yaitu: Pertama, adanya latar belakang sosial politik. Kedua, adanya pemikiran yang menimbulkan ketidak sepahaman antara satu dengan yang lain. Ketiga, adanya sikap tidak simpatik terhadap suatu pihak, Keempat, adanya rasa tidak puas terhadap lingkungan sosial. Kelima, adanya dorongan harga diri yang berlebih-lebihan dan berakibat pada keinginan untuk berusaha sekuat tenaga melakukan rekayasa dan manipulasi7.
Pendapat lain juga mengatakan bahwa faktor penyebab terjadinya sengketa/ konflik disebabkan oleh perbedaan nilai-nilai yang dianut oleh sekelompok masyarakat tertentu yang tinggal disuatu daerah, seperti nilai-nilai agama, budaya etnis dan sebagainya. Perbedaan tersebut mewujud menjadi sengketa ketika sikap toleransi dan saling menghargai menjadi luntur8.
Dari beberapa pendapat diatas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa faktor penyebab terjadinya sengketa dalam politik antara lain: Pertama, karakteristik dan latar belakang social politik yang berbeda. Kedua adanya ketidak sepahaman dan kepercayaan antar pihak. Ketiga, adanya rasa tidak puas dari salah satu pihak. Keempat, adanya perbedaan budaya yang ditunjukkan dari nilai-nilai atau norma-norma yang berlaku dalam masyarakat.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini tergolong kedalam penelitian kualitatif, yang berusaha mengkaji dan menelaah permasalahan yang timbul dengan mencari penyebab dan solusinya, kemudian dianalisis secara deskriptif. Penelitian ini dilaksanakan di Provinsi Jambi pada tahun 2011. Pengumpulan data dalam penelitian ini melalui studi kepustakaan, yaitu melalui telaah terhadap teks, Undang-undang, Jurnal, keputusan-keputusan dan literatur-literatur yang berkaitan dengan masalah yang dibahas.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Pelaksanaan Pilkada
Pemilihan kepala daerah baik itu Gubernur maupun Bupati atau Walikota, merupakan suatu sarana pesta demokrasi yang memberikan kepada warga negaranya, untuk menggunakan hak politik sebagai tindak lanjut dari realisasi prinsip-prinsip kebebasan dan persamaan untuk menentukan pemimpin dalam kurun waktu 5 tahun mendatang.
Dalam pelaksanaannya, pesta demokrasi di Indonesia sejak tahun 1955 telah mengalami beberapa kali perubahan, Pertama pemilihan yang dilakukan melalui perwakilan atau secara proporsional, Kedua pemilihan yang dilakukan secara langsung. Pemilihan yang dilaksanakan secara perwakilan merupakan pemilihan yang menyerahkan kedaulatan rakyat di tangan dewan perwakilan. Di dalam sistim pemilihan secara perwakilan banyak sekali anggapan bahwa sistim ini lebih baik, karena keterwakilan rakyat untuk menentukan dan memilih wakilnya diserahkan kepada badan legislatif yang kemudian sengketa dimasyarakat sedikit terhindari karena permasalahan yang timbul bisa diminimalisir dengan sistim one man one vote6. Akan tetapi disamping kelebihan yang ada, kekurangan sistim inipun sangat kentara. Seperti adanya kerja sama antar partai pendukung dalam parlemen, tingginya angka suap dan sogokan antar dewan sebagai pemegang suara, serta tingkat kemenangan salah satu pasangan calon bisa ditebak berdasarkan besar-kecilnya suara partai yang duduk di perwakilan.
Pemilihan yang dilaksanakan secara langsung, merupakan ajang demokrasi yang memberikan masyarakat hak untuk melihat dan menetukan secara langsung tanpa diwakili oleh dewan. Hal ini sangat penting untuk menguatkan kiprah dan kedudukan masyarakat sebagai objek dalam demokrasi. Akan tetapi, sebagaimana pemilihan keterwakilan, pelaksanaan pemilihan secara langsung juga mempunyai banyak sekali kendala. Hal ini ditunjukkan dengan tingginya angka protes dalam bentuk sengketa dari masyarakat terhadap hasil pengumpulan suara maupun hal-hal lain yang dianggap sebagai kecurangan dalam pelaksanaan pemilihan itu sendiri. Untuk lebih jelas berikut daftar sengketa yang masuk ke Mahkamah Konstitusi pasca pilkada di Indonesia sejak tahun 2008-2011:
Tabel 1: Rekapitulasi perkara Perselisihan hasil pemilihan umum daerah tahun 2008-2011.
No
Tahun
Sisa Perkara tahun sebelumnya
Perkara yang masuk
Putusan Perkara
Jumlah putusan
Kabul
Tolak
Tidak diterima
Tarik kembali
Gugur
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
1
2008
 -
27
3
12
3
0
0
18
2
2009
9
3
1
10
1
0
0
12
3
2010
0
230
26
149
45
4
0
224
4
2011
6
76
6
48
14
0
1
69
Jumlah
336
36
219
63
4
1
323
Sumber data:  Rekapitulasi Perkara PHPUD Mahkamah Konstitusi tahun 2008-2011.

Provinsi Jambi sebagai bagian integral dari Indonesia juga telah melaksanakan pilkada secara langsung, baik untuk tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Secara umum pelaksanaan pilkada di Provinsi Jambi berjalan dengan lancar meskipun ada gugatan-gugatan yang terjadi, namun dapat diselesaikan malalui mediasi-mediasi yang telah diatur secara baik dan damai tanpa ada tindakan-tindakan anarkis yang bisa merusak citra dari demokrasi itu sendiri. Ini terlihat dari pelaksanaan pemilihan di salah satu Kabupaten yakni Sarolangun, atas sengketa pilkada pada tahun 2010 dengan nomor gugatan 173/PAN.MK/2011, yang mengangkat permasalahan indikasi “money politics” oleh pasangan terpilih yaitu pasangan Cek Endra dan Fahrul Rozi. Akan tetapi ketika masuk masa pembuktian di Mahkamah Konstitusi, pasangan penggugat tidak bisa menjelaskan dan menunjukkan dengan jelas bukti yang menyebutkan bahwa ada indikasi “money politics”dan penyalahgunaan kekuasaan, karena saksi yang dihadirkan rata-rata tidak memberikan suara kepada pasangan calon. Berdasarkan keputusan yang didapat akhirnya si penggugat bersedia menerima kekalahannya tanpa ada tindakan perlawanan lebih lanjut.
Begitu juga halnya perkara lain yang masuk ke Mahkamah Konstitusi, rata-rata saksi ataupun bukti yang diajukan tidak bisa menunjukkan bahwa benar dugaan “money politics” dan penyalahgunaan wewenang terjadi dalam pelaksanaan pilkada. Sebagai perbandingan, perkara yang masuk ke Mahkamah Konstitusi di Provinsi Jambi pada tabel berikut:



Tabel 2 : Pelaksanaan Pilkada di Provinsi Jambi tahun 2008-2011
No
Nama Kabupaten/kota
Gugatan
Ke MK
Putusan MK
No. Keputusan MK
Gugatan
Ya
Tidak
Kabul
Tolak
1
Sarolangun
Ö
-
-
Ö
173/PAN.MK/2011
Netralitas Pemerintahan, Money politik.
2
Batanghari
Ö
-
-
Ö
204/PHPU.DVIII/2010
Kampanye saat masa tenang, Money politik
3
Muaro Jambi
Ö
-
-
Ö
157/PAN.MK/2011
Money politik, penyalahgunaan wewenang
4
Tanjung Jabung barat
Ö
-
-
Ö
 202/PHPU.D-VIII/2010
Money Politik, Premanisme dgn membentuk Tim Buser
5
Bungo
-
Ö
Ö
-
-
 -
6
Tebo
Ö
-
Ö
-
33/PHPU.D-IX/2011
 Penggelembungan suara
7
Sungai penuh
Ö
-
-
Ö
155/PAN.MK/2011
Money Politik
8
Kerinci
Ö
Ö
61/PHPU.D-VI/2008
Money politik, Premanisme& penggelembungan suara
Jumlah
7
1
2
6

Sumber data:  Rekapitulasi Perkara PHPUD mahkamah konstitusi Tahun 2008-2011

Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Terjadinya Sengketa Pilkada di Provinsi Jambi.
Sengketa politik bisa menyebabkan kekisruhan dalam jalannya pelaksanaan pilkada langsung, sengketa ini biasanya sebagai akibat dari menajamnya perbedaan dan kerasnya kepentingan yang saling berhadapan, tentunya disebabkan oleh beberapa latar belakang.
Jika dilihat dari tabel 2 diatas, rata-rata gugatan oleh pasangan calon yang maju sebagai kandidat dalam pilkada di Provinsi Jambi adalah kasus politik uang dan penggelembungan suara.
Sebagai salah satu contoh seorang kandidat pasangan calon yang mengajukan gugatan terhadap pasangan yang menang di Kabupaten Muaro Jambi dengan putusan Mahkamah Konstitusi ditolak, jika dilihat dari sisi latar belakang politik para kandidat, kedekatan kandidat dengan partai politik sangatlah kentara. Hal ini ditunjukkan dengan beberapa kali si kandidat ikut dalam pelaksanaan pilkada dan selalu kalah, dari gugatan-gugatan yang diajukan rata-rata terhadap ketidak sepahaman dan ketidak puasan serta dorongan harga diri yang berlebih-lebihan menyebabkan timbulnya rasa ketidak percayaan akan hasil yang didapat dan ditetapkan oleh KPU, karena berdasarkan hasil konsensus Tim sukses yang bersangkutan terhadap rekapitulasi hasil suara saat masa kampanye berlangsung, tingkat perhitungan suara dinilai tinggi. Namun, saat penghitungan suara hasil pemilihan selisih sangat jauh dari prediksi yang ada.
Perkara-perkara diatas jika di korelasikan dengan pendapat yang mengatakan bahwa faktor penyebab sengketa adalah karkteristik atau latar belakang sosial politik yang berbeda, ketidak sepahaman dan kepercayaan, rasa tidak puas dari salah satu pihak, sangatlah bisa dikorelasikan. Karena kepercayaan dan ketidak sepahaman masing-masing pasangan calon terutama kepada penyelenggara pemilihan maupun kepada tiap-tiap pasangan calon yang lain sangatlah besar. Selanjutnya, sebab-sebab yang mendorong timbulnya sengketa secara umum, diakibatkan antara lain sebagai berikut:

Tingkat Kematangan Politik Para Politisi.
Kematangan politik seorang politisi harus memenuhi beberapa kriteria, diantaranya adanya  kemampuan seorang politisi mengendalikan dirinya guna mengikuti segala sistem dan kaedah-kaedah yang berlaku untuk mencapai tujuannya. Adanya kemampuan menelaah dan memahami makna dari politik secara mendalam sehingga akan memunculkan sikap dan prilaku sesuai dengan kriteria sebelumnya. Lalu adanya kemampuan psikologis yang bisa memahami kondisi rakyat yang sebenarnya sehingga akan melahirkan sikap rela menerima keadaan jika mengalami kekalahan/berani menerima kekalahan.
Tingkat  mentalitas dan moralitas.
Tingkat mentalitas dan moralitas seorang politisi biasanya selalu terkait dengan tingkat pendidikannya. Dalam hal ini, untuk menghasilkan seorang politisi yang berpendidikan tinggi serta mempunyai tingkat mentalitas dan moralitas yang tinggi, sangat tergantung pada sistem apa yang mereka dapat dalam jenjang pendidikannya. Hal tersebut sesuai dengan tujuan dari sebuah pendidikan adalah untuk menciptakan manusia yang memiliki kematangan intelektual (IQ), kematangan emosional (EQ) kematangan spritual (SQ).
Persoalan yang terjadi di dalam implementasi sistem pendidikan di Indonesia, hampir disetiap jenjang pendidikan justru lebih mengutamakan IQ saja, mengesampingkan EQ dan SQ. Sebagai sebuah contoh didalam sistem penilaian terhadap seorang siswa atau mahasiswa, selalu ditekankan kepada wujud nilai angka/huruf, bahkan adanya kecenderungan menggunakan kemudahan-kemudahan sebelum memberikan nilai tersebut. Umumnya kemudahan tersebut  cenderung terjadi, pada saat ujian (dengan pengawasan tidak begitu ketat; mencontek, melihat buku dan lain-lain), pada saat pemberian nilai (menggunakan pertimbangan-pertimbangan tertentu yaitu kedekatan dan demi nama sekolah misalnya pada saat pemberian nilai UAN/UNAS), dan lain-lain. Sedangkan sisi kepintaran emosional yang kurang diperhatikan adalah sisi bagaimana cara/usaha yang dilakukan oleh seorang siswa/mahasiswa dalam memperoleh nilai tersebut (sesuai dengan aturan yang ada atau tidak). Kemudian sisi spritual cenderung diserahkan kepada pihak keluarga yang orientasinya sedikit sebagai akibat kesibukan orang tuanya.
Sebagai out put dari implementasi sistem pendidikan tersebut, memunculkan manusia-manusia yang tingkat pendidikannya tinggi tetapi tidak mempunyai mentalitas dan moralitas yang baik. Manusia yang seperti ini dalam kehidupannya akan melahirkan prilaku yang serba ingin cepat, cepat dapat jabatan, cepat kaya, dan lain-lain, tanpa mengikuti  sistem dan aturan serta kaedah-kaedah yang ada. Dalam hal ini jika dibawa pada tataran pelaku politik/politisi, sebagai akibat implementasi sistem pendidikan terlebut lahirlah politisi-politisi yang kurang mempunyai mentalitas dan moralitas yang tinggi. Dalam menjalankan alur politiknya (mewujudkan tujuan dan menyelesaikan persoalan) selalu menekankan pada kepentingan pribadi dan partainya, lupa akan identitas dan jati dirinya serta  serba ingin cepat dengan menghalalkan semua cara tanpa menghiraukan kepentingan rakyat banyak.
Lebih lanjut, dengan tingginya gugatan terhadap hasil pemilukada oleh partai politik, analisisnya menunjukkan bahwa masih kurangnya pemahaman dari politisi akan arti sebuah pertarungan. Gugatan yang dilakukan guna membuka kecurangan pemenang terkadang hanya sebatas coba-coba hal ini dapat dilihat dari jumlah gugatan yang diajukan sejak tahun 2008-2011, hanya 12% saja yang dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi dan 88% lagi dibatalkan dan ditolak karena tidak mempunyai dasar dan bukti yang kuat untuk sebuah gugatan. Dihubungkan dengan tingkat moralitas, mentalitas dan pendidikan diatas dapat dijelaskan kembali bahwa seorang yang tingkat moralitas dan mentalitas serta pendidikan yang tinggi pastilah bisa memahami  konsekuensi dari sebuah pertarungan. Dari data tabel 1 dapat dilihat bahwa semenjak tahun 2008 sampai dengan tahun 2011 dari 336 perkara yang masuk ke mahkamah konstitusi hanya 36 perkara saja yang dikabulkan dan dianggap memang terbukti bermasalah dalam pelaksanaan pemilihan didaerah, selebihnya 300 perkara ditolak, tidak diterima, ditarik kembali dan gugur, begitu juga halnya di Provinsi Jambi dari 8 jumlah pilkada 7 mengajukan gugatan sementara ada 1 yang tidak melakukan gugatan dan dari 7 gugatan hanya 1 perkara diterima dan dilaksanakan pemilihan ulang. Hal ini bisa dianalisis bahwa kemungkinan besar dari perkara-perkara yang masuk tidak dapat dibuktikan secara sah dan bisa mungkin dibilang sebatas coba-coba karena merasa tidak terima atas kekalahannya yang timbul akibat lemahnya mentalitas dan moralitas politisi yang tidak bisa menerima kekalahan secara fair dan konsekuen.


Pengkaderan dalam Organisasi Kepartaian
Dalam undang-undang Nomor 2 tahun 2011 tentang partai politik, partai politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dari pengertian partai tersebut dapatlah disimpulkan bahwa dalam partai politik yang menjadi tujuan utama adalah memperjuangkan kepentingan anggota, yang kedua barulah masyarakat. Dalam konsep memenuhi kepentingan selalu ditujukan kepada yang sudah diorientasikan kemudian barulah memenuhi kepentingan yang lainnya. Dalam hal ini yang diorientasikan dari sebuah partai adalah kepentingan anggota, setelah terpenuhi kepentingan tersebut baru bergeser pada pemenuhan kepentingan rakyat.
Secara garis besar pengkaderan dalam partai politik menurut penulis idealnya bisa dijabarkan melalui bagan berikut:
Bagan 1: Alur pelaksanaan rekruitmen anggota parpol menjadi kepala daerah/anggota DPRD9.











Melirik proses rekruitmen anggota partai politik di Provinsi Jambi, biasanya dilaksanakan beberapa bulan sebelum dilaksanakannya pemilihan. Sebagaimana yang telah terjadi terhadap proses rekruitmen selama ini diserahkan pada tim ahli yang dibentuk oleh parpol dengan kordinasi dengan pengurus pusat. Pola ini diterapkan untuk menjamin kesatuan dan koordinasi yang kuat secara kepartaian. Sebagai contoh terhadap pilkada di beberapa kabupaten yang kandidatnya bukan pemenang dalam pemilihan terdahulu, partai politik menentukan kandidatnya hanya melalui proses survey dimasyarakat dalam beberapa bulan sebelum dilaksanakan pilkada. Hal ini sangat beresiko terhadap kematangan politisi dalam memahami bagaimana pertarungan nantinya. Namun secara idealnya proses tersebut dilaksanakan 5 tahun sebelum pelaksanaan, hingga kematangan politisi, kemudian tingkat emosional dan mentaltas politisi dalam melaksanakan pertarungan bisa lebih stabil serta dengan tingkat pemahaman yang baik akan mengurangi terjadinya sengketa pasca pemilihan terjadi.

Budaya yang di miliki oleh pemilih.
Budaya yang dimiliki  oleh  pemilih merupakan salah satu faktor yang sangat mempengaruhi terjadinya sengketa dalam pilkada. Budaya yang dimiliki oleh pemilih tersebut umumnya terdiri dari dua yaitu ada masyarakat pemilih yang mempunyai budaya kekerasan, contohnya dibeberapa daerah kabupaten/kota dan provinsi didalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kemudian ada masyarakat yang mempunyai budaya lunak, misalnya daerah-daerah yang berasal dari kultur melayu kental. Dalam inflementasi budaya tersebut, apakah pemilih tetap bertahan dengan budayanya atau justru bisa lebih transaparan dalam menanggapi suatu persoalan pada saat pilkada sangat tergantung pada tingkat pendidikan dan sistem pendidikan yang mereka peroleh.
Dalam masyarakat pemilih yang mempunyai budaya kekerasan jika diimbangi dengan tingginya tingkat pendidikan yang mereka peroleh maka akan menghasilkan prilaku pemilih yang bisa lebih transparan dalam menanggapi persoalan dalam pilkada, atau dengan kata lain mereka tidak mempertahankan budaya kekerasan mereka. Sebaliknya masyarakat pemilih yang mempunyai budaya keras dan tidak diimbangan dengan tingginya tingkat pendidikan yang mereka peroleh, maka akan menghasilkan prilaku pemilih yang tetap mempertahankan budaya kekerasannya. Out put dari prilaku tersebut melahirkan tindakan yang tidak bisa menerima kondisi yang terjadi dan cendrung lebih mudah terprovokasi oleh kondisi yang akhirkan akan menyebabkan sengketa. Tolak ukur dari hal tersebut adalah bahwa tidak semua masyarakat pemilih mempunyai tingkat pendidikan yang tinggi tetapi semua masyarakat pemilih berkemungkinan mempunyai budaya kekerasan.
Kemudian dalam masyarakat pemilih yang mempunyai budaya lunak, juga sangat terkait dengan tingkat pendidikan yang mereka peroleh. Dalam masyarakat pemilih yang mempunyai budaya lunak jika diimbangi dengan tingginya tingkat pendidikan yang mereka peroleh, maka akan menghasilkan prilaku yang lunak pula. Sebaliknya dalam masyarakat pemilih walaupun berbudaya lunak jika tingkat pendidikan mereka masih tergolong rendah, maka akan melahirkan prilaku tidak lunak dan ada kemungkinan terjadinya sengketa.
Penduduk Provinsi Jambi terdiri dari penduduk asli dan pendatang. Secara etnis penduduk asli Jambi termasuk dalam ras melayu yang dibedakan menjadi Melayu Muda (Deutro Melayu) dan Melayu Tua (Proto Melayu). Adapun yang termasuk dalam kategori Deutro Melayu adalah orang Melayu Jambi, orang Penghulu, dan Suku Bidah. Sedangkan Suku Bajau, Kerinci, dan orang Batin termasuk ke dalam Proto Melayu. Penduduk pendatang yang tinggal di Provinsi Jambi antara lain berasal dari Jawa, Minangkabau, Bugis, Palembang, Banjar, Batak, dan Sunda. Hasil Sensus Penduduk 2000 menunjukkan bahwa 5 suku terbesar yang menghuni Provinsi Jambi adalah Suku Melayu Jambi (34,7 persen), Jawa (27,6 persen), Kerinci (10,6 persen), Minang (5,5 persen), dan Melayu lainnya (5,2 persen), sedangkan 16,4 persen sisanya Batak, Sunda, Bugis, Cina, dan lain-lain8.
Dari kacamata sosiologis, di provinsi ini tidak dikenal pelapisan sosial yang ketat. Sejak masuknya agama Islam di Jambi, sistem sosial berlapis yang tajam tidak mendapat tempat untuk berkembang. Faktor penghalangnya yaitu karena pada diri para penguasa adat ketika itu telah bersemayam ajaran Islam yang pada intinya mengandung unsur  egalitarian. Sebelumnya, pada masa sebelum Islam masuk ke Jambi, penduduk asli pernah menganut agama Hindu. Ketika itu raja-raja, pemuka agama dan para hartawan dipandang masyarakat sebagai lapisan sosial atas. Para petani, nelayan, dan orang biasa berada pada lapisan bawah. Dihubungkan dengan pelaksanaan pilkada rata-rata pasangan calon merupakan orang-orang yang berpendidikan tinggi dan dengan budaya kultur melayu dan dasar budaya yang masih kuat, akan tetapi sebagian besar pasangan calon yang maju ke pemilihan kepala daerah berasal dari struktur lapisan sosial bawah termasuk tingkat ekonomi yang masih dibilang rendah, hingga menyebabkan tuntutan kebutuhan untuk mendapatkan strata lapisan social atas menjadi sangat besar hingga untuk terciptanya sebuah sengketa yang dilakukan dengan segala cara termasuk mencari kesalahan pemenang sangat besar. Hal ini terjadi sehubungan dengan factor social masyarakat yang masih menganggap bahwa untuk meningkatkan stratanya bisa dilakukan dengan meraih jabatan tertinggi di suatu daerah.

Solusi Penyelesaian Sengketa Dalam Pilkada di Provinsi Jambi.
Dalam mengatasi terjadinya sengketa dalam pilkada, yang lebih utama adalah terlebih dahulu mengidentifikasi masalah dengan menggunakan konsep kausalitas. Konsep ini menekankan adanya hubungan sebab akibat dari terjadinya suatu peristiwa. Suatu peristiwa yang terjadi, misalnya sengketa dalam pilkada, tentu ada penyebabnya mengapa hal tersebut terjadi.
Sengketa dalam sebuah proses politik memang tidak pernah ada yang mengharapkan, meskipun fakta kehadirannya tidak dapat kita tolak, karena dalam setiap proses politik tidak ada satupun keputusan yang dapat memuaskan semua orang baik secara individu maupun kelompok. Di Provinsi Jambi, semenjak dilaksanakannya pilkada secara langsung tetap terjadi sengketa. Akan tetapi hal itu selalu dapat diselesaikan dengan baik, dan menggunakan media hukum yakni Mahkamah Konstitusi, seperti yang telah diamanatkan oleh undang-undang, sebagimana yang telah ditunjukkan dengan perkara gugatan yang masuk Kemahkamah Konstitusi.

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Memperhatikan hasil penelitian, analisa data dan teori-teori yang telah disajikan diatas, maka penelitian tentang sengketa pasca pilkada di Provinsi Jambi ini dapat merumuskan kesimpulan sebagai berikut :
1.      Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya sengketa pasca pilkada di Provinsi Jambi antara lain disebabkan oleh: Pertama, faktor mentalitas dan moralitas politisi dalam melaksakan pemilihan. Factor ini diperlihatkan dari banyaknya gugatan yang masuk ke Mahkamah Konstitusi namun ditolak karena tidak mempunyai bukti dan saksi yang kuat. Kedua, faktor pengkaderan dalam organisasi kepartaian. Factor ini di perlihatkan dari cara penentuan calon yang diangkat hanya beberapa bulan sebelum pelaksanaan pemilihan dilaksanakan. Ketiga, Faktor budaya yang dimiliki oleh masyarakat. Factor strata social masyarakat yang masih menganggap bahwa jabatan tertinggi didaerah merupakan salah satu cara untuk menaikkan derajat dan status sosialnya.
2.      Solusi yang telah dilaksanakan terhadap sengketa pasca pilkada di Provinsi Jambi dilakukan dengan cara mengajukan gugatan ke mahkamah konstitusi, dan mengawasi setiap pelanggaran yang kemungkinan dilakukan oleh masing-msing kandidat pada saat pelaksanaan pemilihan.





Saran
Adapun saran yang dapat di berikan berdasarkan hasil penelitian ini adalah:
1.      Tingkat mentalitas dan moralitas kandidat pasangan calon merupakan salah satu factor penting dalam mensukseskan pelaksanaan pemilihan hal ini terkait dengan pendidikan dan pengkaderan para kandidat sebelum mengikuti pemilihan. Untuk itu ada baiknya bagi partai politik perekrutan dimulai setelah pemilihan berlangsung atau pada masa paling tidak 5 (lima) tahun sebelum pelaksanaan pemilihan. Sehingga kematangan berpolitik para kandidat menjadi stabil dan lebih ferformance. Hal ini penting untuk mencegah terjadinya sengketa yang hanya dilakukan sebatas untuk memuaskan perasaan sang kandidat.
2.      Pengawasan yang dilakukan dalam pelaksanaan pilkada ada baiknya dilakukan secara bersama-sama. Atau mungkin bisa dibentuk tim bersama antar pasangan calon yang bertugas untuk mengawasi pelaksanaan pilkada. Dengan adanya tim bersama ini diharapkan jikalau terjadi sengketa ataupun penyelewengan saat pelaksanaan pemilihan bisa diselesaikan dengan cepat oleh tim, baik itu melalui jalur musyawarah, maupun jalur hukum sebagaimana yang telah diatur oleh undang-undang.
3.      Pengajuan gugatan ke Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu jalan yang terbaik, karena Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu media independen yang di bentuk untuk menyelesaikan permasalahan sengketa salah satunya pilkada.















DAFTAR PUSTAKA

1Ramadhan, Muhaimin. 2011. Tekan Sengketa pemilu 2004 sebanyak560 kasus. (http://www.detiknews.com/read/2007/07/05/230527/801812/10/mk-sengketa-pemilu-2004-sebanyak-560-kasus?nd992203605)

2Prediksi Ketua MK: tahun 2011 Ada 80 Sengketa Pilkada. 2011 (http://www.republika.co.id/berita/nasional/politik/11/04/09/ljdy73-prediksi-ketua-mk-tahun-2011-ada-80-sengketa-pilkada)

3Achmad, Ali. 2010. Tekan Penyelesaian Sengketa http:// bangbenzz. blogspot.com /2010 /06/pengertian-sengketa-ekonomi.html)
4Pengertian Sengketa Dan Definisinya Serta Faktor Penyebabnya. 2009. http:// wartawarga. gunadarma.ac.id / 2009 / 11 / pengertian sengketa dan definisinya serta -faktor-penyebabnya/
5Nur Solechah Siti.2008. Tekan Sengketa Politik pada Penyelenggaraan Pemilihan Langsung Kepala Daerah (Studi Kasus Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Kotamadya Payakumbuh)http://www.dpr.go.id/kajian/Sengketa-Politik-pada-Penyelenggaraan-Pemilihan-Langsung-Kepala-Daerah-Studi-Kasus-Pemilihan-Walikota-dan-Wakil-Walikota-Kotamadya-Payakumbuh-2008.pdf
6Jabal Tarik Ibrahim, dkk. 2009. Model Pengelolaan Sengketa Pilkada Dalam Penguatan Integrasi Bangsa. Laporan Penelitian, Universitas Muhamadiyah Malang.

7Yuliani , Nurika. 2011. Pengertian Sengketa http: // kamukucrud. Wordpress . com / 2011 /04/24/pengertian-sengketa/

8 Karim Navarin, dkk. 2009. Kesiapan Provinsi Jambi dalam mewujudkan Pilgub Jambi yang berkualitas. Laporan Penelitian. Balitbangda Provinsi Jambi.
9Arfai. 2009. Bahan Ajar Ilmu Politik. Fakultas Hukum Universitas Jambi
Indonesia, “Undang-undang Nomor 22 Tahun1999 Tentang Pemerintah daerah”.
Indonesia,”Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah daerah”.
Indonesia, “Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Pemilihan Presiden dan wakil Presiden”.
Indonesia,”Undang-undang Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Partai Politik”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Data blankspot